Ayahku Diusir Karena Sakit-sakitan, Tapi Setelah Mereka Melihat Wasiat Ayahku, Kelakuan Mereka pun Berubah 180 Derajat!
Aku masih ingat, waktu aku kecil hingga tumbuh menjadi dewasa, orangtuaku memperlakukanku lain daripada kakakku.
Mereka terlihat lebih sayang kepada kakakku daripada aku. Ketika aku masih kecil, aku tidak mengerti apa-apa dan hanya bisa menangis ketika orangtuaku memberikan barang yang bagus kepada kakakku. Aku selalu merengek meminta barang yang diberikan kepada kakakku dan akhirnya aku malah dipukuli oleh ayahku.
Ketika aku beranjak dewasa dan mulai mengerti rasanya dibedakan seperti itu di keluargaku, aku pun mulai membenci kedua orangtuaku. Bagaimana mungkin aku tidak membenci mereka dulunya? Pada waktu itu aku masih duduk di bangku SMP dan nilaiku pun tergolong sangat bagus karena aku tidak pernah mendapatkan ranking di bawah ranking 3 ke bawah. Keluargaku memang berasal dari keluarga petani, sehingga aku pun belajar dengan giat karena aku tahu bahwa untuk menyekolahkan aku dan kakakku bukanlah perkara yang mudah. Tetapi kakakku sama sekali gak tahu diuntung, di sekolah dia selalu mendapatkan ranking 3 paling belakang. Dan ketika aku naik SMA, aku pun dianjurkan untuk masuk sekolah top di kota karena nilaiku cukup bagus. Tetapi karena itu adalah sekolah top, biaya sekolah yang dikeluarkan pun cukup gede untuk ditanggung oleh keluargaku. Kedua orangtuaku pun menyuruhku berhenti sekolah disana. Aku masih ingat sekali dengan perkataan ibuku yang paling menyakiti hatiku, “Nak, lupakan sajalah impianmu! Kita sebagai wanita emang sudah begini nasibnya. Bisa membaca dan menulis saja udah cukup kok. Bisa itung tambah kurang juga udah lumayan, gak perlu ampe pinter-pinter banget. Yang paling penting tuh ya kamu dapet suami yang mapan waktu udah gede nanti!”
Setelah itu, aku pun dipaksa oleh ayahku untuk bekerja diluar bersama dengan seorang gadis di desaku. Sejujurnya aku beneran membenci kedua orangtuaku pada saat itu karena mereka memutuskan impianku di tengah jalan, tetapi kebencianku pun sirna seketika ketika aku tahu ibuku tengah sakit berat dan hanya bisa terkulai di atas tempat tidur.
Mereka terlihat lebih sayang kepada kakakku daripada aku. Ketika aku masih kecil, aku tidak mengerti apa-apa dan hanya bisa menangis ketika orangtuaku memberikan barang yang bagus kepada kakakku. Aku selalu merengek meminta barang yang diberikan kepada kakakku dan akhirnya aku malah dipukuli oleh ayahku.
Ketika aku beranjak dewasa dan mulai mengerti rasanya dibedakan seperti itu di keluargaku, aku pun mulai membenci kedua orangtuaku. Bagaimana mungkin aku tidak membenci mereka dulunya? Pada waktu itu aku masih duduk di bangku SMP dan nilaiku pun tergolong sangat bagus karena aku tidak pernah mendapatkan ranking di bawah ranking 3 ke bawah. Keluargaku memang berasal dari keluarga petani, sehingga aku pun belajar dengan giat karena aku tahu bahwa untuk menyekolahkan aku dan kakakku bukanlah perkara yang mudah. Tetapi kakakku sama sekali gak tahu diuntung, di sekolah dia selalu mendapatkan ranking 3 paling belakang. Dan ketika aku naik SMA, aku pun dianjurkan untuk masuk sekolah top di kota karena nilaiku cukup bagus. Tetapi karena itu adalah sekolah top, biaya sekolah yang dikeluarkan pun cukup gede untuk ditanggung oleh keluargaku. Kedua orangtuaku pun menyuruhku berhenti sekolah disana. Aku masih ingat sekali dengan perkataan ibuku yang paling menyakiti hatiku, “Nak, lupakan sajalah impianmu! Kita sebagai wanita emang sudah begini nasibnya. Bisa membaca dan menulis saja udah cukup kok. Bisa itung tambah kurang juga udah lumayan, gak perlu ampe pinter-pinter banget. Yang paling penting tuh ya kamu dapet suami yang mapan waktu udah gede nanti!”
Setelah itu, aku pun dipaksa oleh ayahku untuk bekerja diluar bersama dengan seorang gadis di desaku. Sejujurnya aku beneran membenci kedua orangtuaku pada saat itu karena mereka memutuskan impianku di tengah jalan, tetapi kebencianku pun sirna seketika ketika aku tahu ibuku tengah sakit berat dan hanya bisa terkulai di atas tempat tidur.
Di saat itulah aku mulai menyadari bahwa kedua orangtuaku ternyata sangat menyayangiku dari kecil. Walaupun kelihatannya mereka memperlakukanku dengan berbeda dari kakakku, tetapi setiap kali aku mengalami kesulitan, ayahku pasti akan langsung bekerja keras untuk memenuhi kebutuhanku. Setelah 3 tahun, ibuku pun meninggal karena sakitnya yang sudah tak dapat disembuhkan lagi. Aku pun hanya bisa terdiam dan menangis melihat kepergian ibuku karena semasa hidupnya dia tidak pernah melewati hidup yang bahagia.
Tiga tahun setelah ibu meninggal, kakakku pun menikahi seorang gadis dari desa sebelah. Gadis ini adalah anak dari kenalan ayahku sedari dulu. Aku tidak begitu menyukai kakak iparku sendiri karena setelah menikah, kelakuannya terlihat seorang boss di rumah. Setiap hari dia akan mengatakan hal ini padaku, “Kalau jadi cewek ya, cepet ato lambat pasti bakalan dinikahin keluar dari rumah ini. Istilahnya itu kamu tuh kayak air yang dibuang ke jalanan.” Sebenarnya aku ingin melawan perkataannya, memangnya dia pikir dia itu bukan perempuan ya? Tapi aku selalu berpikir yasudahlah tidak perlu melawan orang keras kepala seperti dia.
Setelah dua tahun menikah, akhirnya kakak iparku pun melahirkan seorang anak laki-laki. Karena peraturan pemerintah yang baru pada tahun itu, setiap keluarga yang melahirkan anak akan diberikan penghargaan berupa uang senilai ratusan juta rupiah. Dari uang inilah, kami sekeluarga akhirnya membeli sebuah rumah di sebuah kota dan kami pun pindah kesana. Uang penghargaan dari pemerintah diberikan cukup banyak, walaupun kita sudah membeli rumah, uang tersebut masih tersisa banyak. Tapi tentu saja aku gak bakalan mendapatkan bagian dari uang itu karena aku adalah seorang “wanita”
Setelah dua tahun pindah ke rumah yang baru, aku pun akhirnya menikah dengan seorang salesman yang sering mengunjungiku di tempatku bekerja. Awalnya ayahku tidak menyetujui hubunganku dengannya karena jarak antara rumah kami dengannya cukup jauh. Dan bukan hanya itu, karena keluarga suamiku ini tidak terlalu mampu, ayahku khawatir mereka tidak akan memberikanku mas kawin, tetapi setelah dibujuk oleh kakak iparku, ayahku pun akhirnya merestui hubungan kami berdua. Kami pun menikah tanpa mas kawin sepersen pun.
Tiga tahun setelah ibu meninggal, kakakku pun menikahi seorang gadis dari desa sebelah. Gadis ini adalah anak dari kenalan ayahku sedari dulu. Aku tidak begitu menyukai kakak iparku sendiri karena setelah menikah, kelakuannya terlihat seorang boss di rumah. Setiap hari dia akan mengatakan hal ini padaku, “Kalau jadi cewek ya, cepet ato lambat pasti bakalan dinikahin keluar dari rumah ini. Istilahnya itu kamu tuh kayak air yang dibuang ke jalanan.” Sebenarnya aku ingin melawan perkataannya, memangnya dia pikir dia itu bukan perempuan ya? Tapi aku selalu berpikir yasudahlah tidak perlu melawan orang keras kepala seperti dia.
Setelah dua tahun menikah, akhirnya kakak iparku pun melahirkan seorang anak laki-laki. Karena peraturan pemerintah yang baru pada tahun itu, setiap keluarga yang melahirkan anak akan diberikan penghargaan berupa uang senilai ratusan juta rupiah. Dari uang inilah, kami sekeluarga akhirnya membeli sebuah rumah di sebuah kota dan kami pun pindah kesana. Uang penghargaan dari pemerintah diberikan cukup banyak, walaupun kita sudah membeli rumah, uang tersebut masih tersisa banyak. Tapi tentu saja aku gak bakalan mendapatkan bagian dari uang itu karena aku adalah seorang “wanita”
Setelah dua tahun pindah ke rumah yang baru, aku pun akhirnya menikah dengan seorang salesman yang sering mengunjungiku di tempatku bekerja. Awalnya ayahku tidak menyetujui hubunganku dengannya karena jarak antara rumah kami dengannya cukup jauh. Dan bukan hanya itu, karena keluarga suamiku ini tidak terlalu mampu, ayahku khawatir mereka tidak akan memberikanku mas kawin, tetapi setelah dibujuk oleh kakak iparku, ayahku pun akhirnya merestui hubungan kami berdua. Kami pun menikah tanpa mas kawin sepersen pun.
Hubunganku dengan sang suami sangat harmonis karena kami mempunyai prinsip pemikiran yang sama. Di kota kecil tempat kami tinggal, kami pun mulai merintis sebuah usaha kecil dan usaha kecil kami sehari demi sehari semakin meningkat. 3 tahun setelah kami menikah, kami pun akhirnya membeli sebuah rumah di kota itu. Bertepatan pada saat itu, ayahku tiba-tiba diusir dari rumah kakakku karena dia menderita sebuah penyakit dan mereka menganggap ayahku itu beban bagi mereka. Selain itu, mereka bahkan berusaha untuk mencabut nama ayahku dari surat rumah yang mereka beli dan menghentikan pengobatan ayahku. Tak tahan melihat perlakuan mereka terhadap ayahku, aku dan suamiku pun membawa ayahku pulang untuk tinggal bersama dengan kami.
Selama 3 tahun, kakakku dan istrinya tidak pernah mengunjungi ayah. Sebulan sebelum ayahku meninggal, ayahku ingin pulang ke rumah mereka, tetapi ketika aku membicarakannya pada kakakku, mereka malah tidak mau menerimanya sama sekali. Aku yang emosi pun hampir menelepon polisi karena kelakuan mereka yang keterlaluan. Akhirnya ketika ayahku meninggal, ayahku hanya bisa marah-marah sambil bersedih hati dan mengatakan bahwa anak laki-lakinya adalah serigala berbulu domba.
Tak habis sampai disitu, proses pemakaman ayahku pun akhirnya dibiayai olehku dan suamiku karena kakakku dan istrinya tak bersedia mengeluarkan biaya sepersen pun. Mereka pun memaksa untuk masuk ke rumahku dan membongkar seisi rumahku untuk melihat apakah ayahku meninggalkan harta warisan untuk mereka. Kemudian seminggu setelah kepergian ayahku, kakakku dan iparku pun menerima surat dari kantor kejaksaan yang menuliskan tentang wasiat ayahku.
Ternyata surat wasiat itu sudah ditulis oleh ayahku bahkan sebelum dia pindah ke rumahku. Dia membagikan warisannya kepada cucunya, aku, serta kakakku. Tetapi bagian kakakku sangatlah sedikit, dan bagian cucunya sendiri baru bisa diambil olehnya setelah dia berumur 18 tahun. Selain itu, hanya akulah yang bisa memberikannya secara sah ketika dia sudah berumur 18 tahun. Kakakku dan istrinya benar-benar kehabisan kata-kata setelah membaca surat wasiat itu. Mereka pun meminta maaf kepada kami dan membelikan kami bingkisan. Bener-bener gak tahu malu banget!
Jadi orang itu emang gak boleh terlalu egois dan serakah, begini deh akibatnya!
Selama 3 tahun, kakakku dan istrinya tidak pernah mengunjungi ayah. Sebulan sebelum ayahku meninggal, ayahku ingin pulang ke rumah mereka, tetapi ketika aku membicarakannya pada kakakku, mereka malah tidak mau menerimanya sama sekali. Aku yang emosi pun hampir menelepon polisi karena kelakuan mereka yang keterlaluan. Akhirnya ketika ayahku meninggal, ayahku hanya bisa marah-marah sambil bersedih hati dan mengatakan bahwa anak laki-lakinya adalah serigala berbulu domba.
Tak habis sampai disitu, proses pemakaman ayahku pun akhirnya dibiayai olehku dan suamiku karena kakakku dan istrinya tak bersedia mengeluarkan biaya sepersen pun. Mereka pun memaksa untuk masuk ke rumahku dan membongkar seisi rumahku untuk melihat apakah ayahku meninggalkan harta warisan untuk mereka. Kemudian seminggu setelah kepergian ayahku, kakakku dan iparku pun menerima surat dari kantor kejaksaan yang menuliskan tentang wasiat ayahku.
Ternyata surat wasiat itu sudah ditulis oleh ayahku bahkan sebelum dia pindah ke rumahku. Dia membagikan warisannya kepada cucunya, aku, serta kakakku. Tetapi bagian kakakku sangatlah sedikit, dan bagian cucunya sendiri baru bisa diambil olehnya setelah dia berumur 18 tahun. Selain itu, hanya akulah yang bisa memberikannya secara sah ketika dia sudah berumur 18 tahun. Kakakku dan istrinya benar-benar kehabisan kata-kata setelah membaca surat wasiat itu. Mereka pun meminta maaf kepada kami dan membelikan kami bingkisan. Bener-bener gak tahu malu banget!
Jadi orang itu emang gak boleh terlalu egois dan serakah, begini deh akibatnya!
0 Response to "Ayahku Diusir Karena Sakit-sakitan, Tapi Setelah Mereka Melihat Wasiat Ayahku, Kelakuan Mereka pun Berubah 180 Derajat!"
Post a Comment