Ujian Nasional dan Hakekat Pendidikan
Misalkan ada momok di sekolah yang membuat anak Anda cemas berkepanjangan, malas berpikir mendalam tentang banyak mata pelajaran, enggan membaca buku-buku yang meluaskan wawasannya, dan tak punya waktu untuk mempelajari apa yang ia minati, apa yang akan Anda lakukan? Yang paling mudah tentu berharap hal ini hanyalah sebuah perumpamaan. Sayang seribu sayang, momok tersebut sungguh nyata. Ia hadir dalam bentuk hajat tahunan bangsa ini: Ujian Nasional.
Anda yang membaca koran dan melihat TV pasti sudah mahfum bahwa runyamnya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun ini telah menggegerkan seantero negeri. Distribusi soal yang amburadul membuat belasan provinsi menunda ujian. Jumlah lembar soal yang kurang membuat sebagian siswa terpaksa menggunakan lembar soal hasil fotokopi. Di beberapa daerah, rumitnya sistem paket ujian mengakibatkan tertukarnya lembar soal. Muncul pula isu jual beli kunci ujian – meski hal ini lebih banyak dibicarakan di bawah radar, melalui bisik-bisik antar guru dan keluh kesah di media sosial. Inkompetensi pemerintah dalam pelaksaan UN ini membuat banyak orang marah. Sebagian mendesak menteri pendidikan untuk mundur, sebagian lagi menduga ada korupsi dalam tender pencetakan soal dan kebocoran ujian.
Untuk memahami mengapa UN justru merusak, kita perlu menengok kedudukannya sebagai sistem asesmen. Berdasar fungsinya, asesmen bisa dibagi menjadi dua: asesmen formatif yang membantu proses belajar, dan asesmen sumatif untuk mengevaluasi hasil belajar. Mudah diduga, UN tergolong asesmen sumatif. Hasilnya (seharusnya) digunakan oleh pemerintah guna memetakan kualitas sekolah, dan oleh stakeholder lain yang akan menggunakan lulusan sekolah (seperti perusahaan yang mencari tenaga kerja atau panitia seleksi perguruan tinggi).
Poin pentingnya, UN memang tidak dirancang untuk memperbaiki proses belajar-mengajar di kelas. Luaran UN hanya berupa angka, tanpa deskripsi pemahaman dan kesalahpahaman siswa. Ujian juga diselenggarakan di akhir tahun ajaran, sehingga tak memungkinkan guru memperbaiki cara pengajarannya. UN bisa dianggap sebagai ukuran kasar dari tingkat pemahaman siswa tentang beberapa mata pelajaran di sekolah. Dan karena terstandar, hasilnya bisa digunakan untuk pemetaan, untuk membandingkan kualitas sekolah secara kasar. Tapi ia tidak bisa digunakan secara langsung untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran.
Dengan kata lain, pemetaan dan peningkatan kualitas pendidikan adalah dua hal yang harus dipisahkan. Pemetaan dengan data UN bisa digunakan sebagai informasi untuk perbaikan kualitas. Namun perbaikan kualitas itu sendiri harus dicapai melalui faktor lain seperti kompetensi guru dan iklim akademik sekolah.
Atau sebaliknya, jangan-jangan yang dilecut oleh UN adalah ketakutan akan ketidaklulusan? Jangan-jangan guru justru melihat UN sebagai momok yang memaksa mereka hanya mengajarkan materi yang akan diujikan? Sayangnya, kemungkinan kedua inilah yang terjadi. Tak perlu menjadi ahli pendidikan untuk melihat gejala-gejalanya: lihat saja betapa maraknya lembaga bimbingan belajar, dramatisnya doa-doa bersama, beragamnya upaya klenik untuk meningkatkan nilai, banyaknya siswa yang stres menghadapi UN, dan berbagai cerita kebocoran kunci jawaban.
Semua ini terkait dengan sifat UN sebagai asesmen dengan pertaruhan besar (high-stakes). Nilai UN menentukan persepsi atas kompetensi guru, yang pada gilirannya menentukan jumlah dan kualitas siswa yang memilih sekolah tersebut. Bagi siswa, nilai UN menentukan tidak saja kelulusan, tapi juga kemungkinan masuk sekolah dan universitas favorit. Bagi banyak siswa – terutama dari keluarga miskin – kegagalan UN akan menutup kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga. Singkat kata, yang dipertaruhkan dalam UN adalah masa depan itu sendiri!
Dengan demikian, respon-respon negatif terhadap high-stakes test tidaklah mengejutkan. Penjelasannya sederhana: bila pertaruhannya begitu besar, siswa dan guru yang merasa tidak mampu untuk memenuhi standar yang ditetapkan akan menempuh segala cara untuk lulus. Dan banyak hal berkonspirasi untuk membuat banyak siswa merasa tak mampu lulus: mulai dari infrastruktur fisik yang tak layak, latar belakang sosial ekonomi, dan rendahnya kompetensi banyak guru. Sekali lagi, sesungguhnya tidak mengherankan bila banyak yang berpaling pada cara-cara praktis, mistik, dan bahkan ilegal untuk meningkatkan nilai UN.
Yang pertama dan sudah kerap disebut adalah kemampuan untuk belajar sepanjang hayat. Ini mencakup kecakapan untuk mendeteksi keterbatasan pengetahuan diri sendiri, untuk mencari dan mensintesis informasi baru, dan untuk memotivasi diri untuk melakukannya. Yang kedua, dan yang masih jarang disinggung, terkait dengan nilai-nilai intelektual seperti apresiasi akan ilmu, penghargaan akan proses merumuskan pertanyaan dan mencari jawaban secara sistematis, kekaguman terhadap buah pemikiran cerdik cendekia kontemporer ataupun yang hidup di masa lalu, kepuasan yang spontan terasa ketika mata batin terbuka untuk memahami hal baru.
Bagi saya, kedua hal ini lebih dekat pada hakekat pendidikan: pendewasaan personal serta pencerahan pikiran dan hati melalui ilmu pengetahuan. Dan pengembangan nilai-nilai intelektual ini adalah tugas unik yang diemban sekolah: tak ada institusi sosial lain yang bisa atau bertugas melakukannya. Bila ini yang kita kehendaki bersama, maka momok bernama UN harus dihapus.
(Keterangan: pertama dipublikasikan di http://jakartabeat.net/kolom/konten/ujian-nasional-dan-hakikat-pendidikan)
Anda yang membaca koran dan melihat TV pasti sudah mahfum bahwa runyamnya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun ini telah menggegerkan seantero negeri. Distribusi soal yang amburadul membuat belasan provinsi menunda ujian. Jumlah lembar soal yang kurang membuat sebagian siswa terpaksa menggunakan lembar soal hasil fotokopi. Di beberapa daerah, rumitnya sistem paket ujian mengakibatkan tertukarnya lembar soal. Muncul pula isu jual beli kunci ujian – meski hal ini lebih banyak dibicarakan di bawah radar, melalui bisik-bisik antar guru dan keluh kesah di media sosial. Inkompetensi pemerintah dalam pelaksaan UN ini membuat banyak orang marah. Sebagian mendesak menteri pendidikan untuk mundur, sebagian lagi menduga ada korupsi dalam tender pencetakan soal dan kebocoran ujian.
UN Sebagai Asesmen Pendidikan
Di tengah kehebohan ini, ada baiknya kita berpikir lebih mendasar tentang UN. Andaikan UN dilaksanakan dengan profesional, dan andaikan semua yang terlibat bisa dibuat jujur sehingga tidak ada kebocoran soal, apakah UN sebaiknya diselenggarakan secara rutin di kelas 6, 9 dan 12 seperti saat ini? Jawabannya tidak. Sistem UN yang sekarang diterapkan – sesempurna apapun teknis pelaksanaannya – telah dan akan terus merusak pendidikan.Untuk memahami mengapa UN justru merusak, kita perlu menengok kedudukannya sebagai sistem asesmen. Berdasar fungsinya, asesmen bisa dibagi menjadi dua: asesmen formatif yang membantu proses belajar, dan asesmen sumatif untuk mengevaluasi hasil belajar. Mudah diduga, UN tergolong asesmen sumatif. Hasilnya (seharusnya) digunakan oleh pemerintah guna memetakan kualitas sekolah, dan oleh stakeholder lain yang akan menggunakan lulusan sekolah (seperti perusahaan yang mencari tenaga kerja atau panitia seleksi perguruan tinggi).
Poin pentingnya, UN memang tidak dirancang untuk memperbaiki proses belajar-mengajar di kelas. Luaran UN hanya berupa angka, tanpa deskripsi pemahaman dan kesalahpahaman siswa. Ujian juga diselenggarakan di akhir tahun ajaran, sehingga tak memungkinkan guru memperbaiki cara pengajarannya. UN bisa dianggap sebagai ukuran kasar dari tingkat pemahaman siswa tentang beberapa mata pelajaran di sekolah. Dan karena terstandar, hasilnya bisa digunakan untuk pemetaan, untuk membandingkan kualitas sekolah secara kasar. Tapi ia tidak bisa digunakan secara langsung untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran.
Dengan kata lain, pemetaan dan peningkatan kualitas pendidikan adalah dua hal yang harus dipisahkan. Pemetaan dengan data UN bisa digunakan sebagai informasi untuk perbaikan kualitas. Namun perbaikan kualitas itu sendiri harus dicapai melalui faktor lain seperti kompetensi guru dan iklim akademik sekolah.
Efek Samping High-stakes Test
Para pendukung UN mungkin akan menyangkal: bukankah UN membuat guru mengajar lebih serius dan memotivasi siswa untuk belajar? Sepintas argumen ini masuk akal, tapi mari kita dicermati. Benarkah UN membuat siswa bergairah belajar, memuaskan rasa ingin tahu, dan meluaskan wawasan? Apakah UN mendorong guru menjadi inovatif dalam mengajar, untuk mengembangkan kemampuan siswa berpikir analitik dan kreatif?Atau sebaliknya, jangan-jangan yang dilecut oleh UN adalah ketakutan akan ketidaklulusan? Jangan-jangan guru justru melihat UN sebagai momok yang memaksa mereka hanya mengajarkan materi yang akan diujikan? Sayangnya, kemungkinan kedua inilah yang terjadi. Tak perlu menjadi ahli pendidikan untuk melihat gejala-gejalanya: lihat saja betapa maraknya lembaga bimbingan belajar, dramatisnya doa-doa bersama, beragamnya upaya klenik untuk meningkatkan nilai, banyaknya siswa yang stres menghadapi UN, dan berbagai cerita kebocoran kunci jawaban.
Semua ini terkait dengan sifat UN sebagai asesmen dengan pertaruhan besar (high-stakes). Nilai UN menentukan persepsi atas kompetensi guru, yang pada gilirannya menentukan jumlah dan kualitas siswa yang memilih sekolah tersebut. Bagi siswa, nilai UN menentukan tidak saja kelulusan, tapi juga kemungkinan masuk sekolah dan universitas favorit. Bagi banyak siswa – terutama dari keluarga miskin – kegagalan UN akan menutup kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga. Singkat kata, yang dipertaruhkan dalam UN adalah masa depan itu sendiri!
Dengan demikian, respon-respon negatif terhadap high-stakes test tidaklah mengejutkan. Penjelasannya sederhana: bila pertaruhannya begitu besar, siswa dan guru yang merasa tidak mampu untuk memenuhi standar yang ditetapkan akan menempuh segala cara untuk lulus. Dan banyak hal berkonspirasi untuk membuat banyak siswa merasa tak mampu lulus: mulai dari infrastruktur fisik yang tak layak, latar belakang sosial ekonomi, dan rendahnya kompetensi banyak guru. Sekali lagi, sesungguhnya tidak mengherankan bila banyak yang berpaling pada cara-cara praktis, mistik, dan bahkan ilegal untuk meningkatkan nilai UN.
Hakekat Pendidikan
Tapi bagaimana jika pemerintah bisa membuat semua orang jujur sehingga tidak ada kecurangan sedikit pun dalam UN? Paling tidak, bukankah ini akan memaksa siswa untuk mempelajari materi yang diujikan? Memang betul. Tapi bukan ini hakekat pendidikan. Tujuan utama sekolah bukanlah membuat siswa tahu tentang sekumpulan topik yang ditetapkan oleh pemerintah. Ada hal-hal yang lebih penting daripada itu.Yang pertama dan sudah kerap disebut adalah kemampuan untuk belajar sepanjang hayat. Ini mencakup kecakapan untuk mendeteksi keterbatasan pengetahuan diri sendiri, untuk mencari dan mensintesis informasi baru, dan untuk memotivasi diri untuk melakukannya. Yang kedua, dan yang masih jarang disinggung, terkait dengan nilai-nilai intelektual seperti apresiasi akan ilmu, penghargaan akan proses merumuskan pertanyaan dan mencari jawaban secara sistematis, kekaguman terhadap buah pemikiran cerdik cendekia kontemporer ataupun yang hidup di masa lalu, kepuasan yang spontan terasa ketika mata batin terbuka untuk memahami hal baru.
Bagi saya, kedua hal ini lebih dekat pada hakekat pendidikan: pendewasaan personal serta pencerahan pikiran dan hati melalui ilmu pengetahuan. Dan pengembangan nilai-nilai intelektual ini adalah tugas unik yang diemban sekolah: tak ada institusi sosial lain yang bisa atau bertugas melakukannya. Bila ini yang kita kehendaki bersama, maka momok bernama UN harus dihapus.
(Keterangan: pertama dipublikasikan di http://jakartabeat.net/kolom/konten/ujian-nasional-dan-hakikat-pendidikan)
0 Response to "Ujian Nasional dan Hakekat Pendidikan"
Post a Comment