8. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN MELALUI PROGRAM LEMBAGA SIMPAN PINJAM BERBASIS MASYARAKAT (Kasus Desa Waworaha Kecamatan Lambuya Kabupaten Konawe)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum dapat ditingkatkan apabila kemiskinan dapat dikurangi. Kemiskinan dapat dikurangi apabila ada pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dan pemerataan dibidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur serta akses berusaha dan memperoleh kesempatan kerja serta stabilitas keamanan dan tidak adanya gejolak sosial. Apabila pertumbuhan dan pemerataan tidak dapat dilaksanakan dan stabilitas keamanan tidak terkendali, akan berdampak kemiskinan meningkat.
Kemiskinan merupakan masalah utama pembangunan diberbagai bidang yang ditandai dengan kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian dan ketidakmampuan menyampaikan aspirasi. Secara sosial ekonomi kemiskinan dapat menjadi beban masyarakat, menyebabkan rendahnya kualitas dan produktifitas masyarakat, rendahnya partisipasi aktif masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statisik (BPS), menunjukan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia hingga Maret 2006 meningkat. Jumlah penduduk miskin mencapai 39,05 juta orang atau 17,75% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 220 juta orang. Ini berarti meningkat 3,95 juta ketimbang Pebruari 2005. persentase orang miskin sebagian besar hidup di desa, yaitu mencapai 63,4%. Penduduk miskin di pedesaan meningkat 2,06 juta, dan di kota bertambah 1,89 juta. Garis kemiskinan pada Maret 2006 Rp. 152, 847,-/jiwa/bulan atau naik 18,39%. Garis kemiskinan naiknya lebih tinggi dari tingkat inflasi. Inflasi pada periode yang sama hanya sebesar 17,95%. Penduduk yang tidak sampai pada garis kemiskinan tersebut, masuk dalam kategori kelompok penduduk miskin.
Angka kemiskinan di pedesaan lebih besar dibandingkan dengan daerah perkotaan, padahal kenyatannya program-program pembangunan yang ditujukan untuk mengentaskan masyarakat pedesaan dari kemiskinan, sesungguhnya jauh lebih banyak. Bantuan tehnologi dan dana sudah banyak dikucurkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, akan tetapi ternyata kemiskinan tetap ada bahkan cenderung semakin bertambah.
Chambers (1983 : 145) Kemiskinan dianggapnya sebagai proses interaksi dari berbagi faktor yang muncul sebagai akibat dari situasi ketidakadilan, ketidakpastian, ketimpangan, ketergantungan dalam struktur masyarakat. Oleh karena itu, kemiskinan lebih tepat disebut sebagai perangkap kemiskinan (deprivation trap) yang terdiri dari 5 (lima) unsur penyebab kemiskinan yang saling terkait yaitu : ketidakberdayaan (powerlessness), kerawanan atau kerentanan (vulnerability), kelemahan fisik (physical weakness), kemiskinan (poverty) dan isolasi (isolation).
Rahardja (1996: 146) menyatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda, di antaranya adalah (1) kesempatan kerja, (2) upah gaji di bawah standar minimum, (3) produktivitas kerja yang rendah, (4) ketiadaan aset, (5) diskriminasi, (6) tekanan harga, (7) penjualan tanah.
Berdasarkan uraian diatas, maka menurut Suyanto (1995 : 106) ada empat faktor yang disinyalir menjadi penyebab mengapa kemiskinan di pedesaan masih tetap mencolok :
“Pertama, karena adanya pemusatan kepemilikan tanah yang dibarengi dengan adanya proses fragmentasi pada arus bawah masyarakat pedesaan; Kedua, karena nilai tukar hasil produksi warga pedesaan khususnya sektor pertanian yang semakin jauh tertinggal dengan hasil produksi lain, termasuk kebutuhan hidup sehari-hari warga pedesaan; ketiga, karena lemahnya posisi masyarakat desa khususnya petani dalam mata rantai perdagangan; Keempat, karena karakter struktur sosial masyarakat pedesaan yang terpolarisasi. “
Selain angka kemiskinan, juga terjadi kesenjangan-kesenjangan kesejahteraan dalam masyarakat yang menimbulkan kemiskinan. Kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat pada dasarnya diakibatkan oleh faktor :
(1) Sosial ekonomi rumah tangga atau masyarakat, (2) struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumah tangga atau masyarakat, (3) potensi regional (sumber daya alam, lingkungan dan infrastruktur) yang mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi, dan (4) kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global. (Wiranto, 2006).
Salah satu isu yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan adalah penurunan kualitas hidup, ketersediaan sarana dan prasarana, ketidakmampuan institusi ekonomi menyediakan kesempatan usaha, lapangan kerja, serta pendapatan yang memadai, yang saling berkaitan dan sangat kompleks.
Kegagalan pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia dan atau negara-negara berkembang karena pembangunan yang dilaksanakannya kurang memperhatikan partisipasi masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Korten dan Sjahrir (1984 : 314) bahwa pembangunan tersebut kurang memberikan kesempatan kepada rakyat miskin untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut pemilihan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Dari kegagalan tersebut maka sekarang ini pelaksanaan pembangunan kemiskinan adalah melalui pemberdayaan masyarakat yang berpusat pada manusia (people-centered development) ini kemudian melandasi wawasan pengelolaan sumber daya lokal (community-based resources management) yang merupakan mekanisme perencanaan people-centered development yang menekankan pada teknologi pembelajaran sosial (social learning) dan strategi perumusan program.
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengaktualisasikan dirinya (empowernment).
Soegijono dkk dalam Soekamto (2004: 78-79) menyatakan:
Terdapat tiga pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat miskin, (1) pendekatan yang terarah, artinya pemberdayaan masyarakat harus terarah yakni berpihak kepada orang miskin, (2) pendekatan kelompok, artinya secara bersama-sama untuk memudahkan pemecahan masalah yang dihadapi, dan (3) pendekatan pendampingan, artinya selama proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat miskin perlu didampingi oleh pendamping yang profesional sebagai fasilitator, komunikator dan dinamisator terhadap kelompok untuk mempercepat tercapainya kemandirian.
Pada dasarnya kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensional, yang berkaitan erat dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya. Kemiskinan ditandai oleh rendahnya tingkat pendapatan masyarakat, keterisolasian, keterbelakangan, dan pengangguran, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan antar daerah, antar sektor dan antar golongan penduduk (Sumodiningrat, 1999: 2). kemiskinan timbul karena ada sebagian daerah yang belum sepenuhnya tertangani, ada sebagian sektor yang harus menampung tenaga kerja secara berlebih dengan tingkat produktifitas yang rendah, dan ada pula sebagian masyarakat yang belum ikut serta dalam proses pembangunan sehingga belum dapat menikmati hasilnya secara memadai.
Hal lain, pembangunan masyarakat pedesaan merupakan hal yang krusial harus dilaksanakan terutama sekali pembangunan fisik prasarana dan perekonomiannya, karena sebagian besar penduduk Indonesia bermukim di pedesaan yang masih banyak hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. oleh sebab itu Usman (1998: 30-31), mengatakan bahwa :
“Masyarakat pedesaan perlu diberdayakan karena masih mencerminkan adanya kelemahan dan kekurangan dalam Pendidikan yang rendah, rentan terhadap penyakit, pendapatan yang minim, kurangnya akses ekonomi dan politik.”
Belajar dari fenomena tersebut, maka selanjutnya terjadi perubahan paradigma dalam pembangunan desa seiring diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Konsep otonomi desa yang tertuang didalamnya memberikan kedudukan yang kuat bagi desa dan masyarakatnya untuk melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhannya, dimana proses pembangunan secara bertahap telah bergeser mengarah kepada proses yang memungkinkan masyarakat dapat berpartisipasi secara keseluruhan (participatory development), sejak dari (a) prakarsa (dari masyarakat), (b) perencanaan, pelaksanaan dan pengendaliannya (oleh masyarakat), hingga kealokasian manfaatnya (untuk masyarakat).
Kondisi semacam ini didukung oleh pernyataan bahwa hakekat pengertian pembangunan adalah dari, untuk dan oleh masyarakat, dengan demikian maka pembangunan di pedesaan menempatkan masyarakat desa sebagai subyek pembangunan dan bukan sebagai obyek pembangunan, atau dengan kata lain bahwa pembangunan desa harus dapat dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri dan bukan dilakukan oleh pemerintah supra desa.
Pembangunan harus menerapkan prinsip-prinsip desentralisasi, bergerak dari bawah (buttom up), mengikutsertakan masyarakat secara aktif (participatory), dilaksanakan dari dan bersama masyarakat (from and with people) dan koordinasi antar sektor serta kelembagaan yang ada di desa. Melalui proses semacam ini maka keinginan-keinginan dan kebutuhan masyarakat desa dapat disalurkan dan diwujudkan dalam program pembangunan desa.
Dari pemikiran diatas, jelaslah bahwa dalam pelaksanaan pembangunan desa sangat dibutuhkan prakarsa masyarakat setempat, dilakukan oleh masyarakat itu sendiri dan keputusan yang diambil bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri, serta dilakukan secara terus menerus, berkesinambungan dan berorientasi ke masa depan.
Pada masa sekarang upaya penanggulangan kemiskinan dihadapkan pada tuntutan Pemerintah agar dapat menyusun strategi penanggulangan kemiskinan nasional dalam jangka panjang. Kebijakan pemerintah yang diluncurkan pada saat ini banyak diarahkan pada upaya penanggulangan kemiskinan baik di perkotaan maupun di daerah pedesaan, dengan harapan agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara layak dan bahkan lebih dapat ditingkatkan kesejahteraannya. Pelibatan semua pihak dalam pengambilan kebijakan dan perumusan program pengentasan kemiskinan menjadi penting, termasuk pelibatan institusi-institusi lokal yang ada di daerah.
Penanggulangan kemiskinan yang bertumpu kepada peran serta aktif masyarakat diupayakan dalam rangka menumbuhkan kemandirian masyarakat miskin. Melalui Kelompok Masyarakat (Pokmas), pembahasan perencanaan kebutuhan mereka yang mendesak dan mendasar dilakukan. Ini berarti mendorong penduduk miskin yang pada umumnya hidup di daerah pedesaan agar semakin memahami dan semakin mampu mengatasi sendiri permasalahan yang dihadapinya.
Dikatakan oleh Mubyarto (1996: 20) bahwa upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui proses penguatan penduduk miskin yang mencakup lima aspek, yaitu pengembangan sumber daya manusia, penyediaan modal kerja, penciptaan peluang dan kesempatan berusaha, pengembangan kelembagaan penduduk miskin dan penciptaan sistem pelayanan kepada penduduk miskin yang sederhana dan efisien. Melalui jalur pendekatan tersebut, penduduk miskin diharapkan mampu dengan kekuatannya sendiri, menanggulangi kemiskinannya serta meningkatkan kesejahteraannya secara memadai dan berkelanjutan.
Salah satu program pemerintah dalam rangka pengentasan kemiskinan pedesaan dengan upaya penguatan pedesaan melalui pemberdayaan masyarakat, adalah melalui proyek Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan Desa (Proyek PMPD) atau Community Empowerment for Rural Development Project (CERD Project) yang mulai dilaksanakan sejak tahun anggaran 2001.
Pendekatan Proyek PMPD menekankan pada visi pemberdayaan masyarakat dengan meningkatkan kesadaran kritis atas posisinya dalam struktur sosial politik dimana orang miskin tinggal, dan sekaligus memutuskan hubungan-hubungan yang bersifat eksploitatif terhadap lapisan orang miskin. Rasa kesamaan menjadi bagian yang dibangun dan diperkuat melalui wadah CBSLO (Community Basic Save and Load Organization) dan memberikan kesadaran bahwa miskin yang dialami bukan karena faktor takdir melainkan dikarenakan adanya konstruksi sosial yang membentuk mereka menjadi miskin. Oleh karena itu dalam rumusan pembangunan PMPD menuntut dilakukan secara transparan, partisipatif, dan akuntabilitas.
Adapun Proyek PMPD mempunyai tujuan untuk mengentaskan masyarakat miskin pedesaan, khususnya masyarakat miskin yang tinggal di dekat pusat pertumbuhan, melalui upaya-upaya :
1. Memberdayakan masyarakat desa dengan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam merencanakan dan mengelola kegiatan pembangunan desanya, serta meningkatkan kapasitas aparat pemerintah dalam memfasilitasi pembangunan pedesaan.
2. Mendukung kegiatan investasi lokal serta meningkatkan keterkaitan pedesaan-perkotaan dengan membangun sarana dan prasarana pedesaan yang dibutuhkan untuk mengembangkan produtivitas usaha skala kecil dan mikro.
Sasaran penerima manfaat dari Proyek PMPD adalah kelompok penduduk miskin di pedesaan dengan lebih memperhatikan kelompok perempuan dan penduduk asli setempat (Indigenous People).
Kriteria kemiskinan pada proyek PMPD adalah mereka yang tergolong miskin produktif potensial (MPP), sasaran Proyek PMPD bukan pada masyarakat yang tergolong miskin absolut, melainkan golongan miskin relatif, dimana mereka miskin karena keterbatasan akses dalam banyak hal seperti :
1. Keterbatasan akses informasi
2. Keterbatasan akses terhadap lembaga keuangan
3. Keterbatasan terhadap pasar
4. Keterbatasan terhadap tehnologi
5. Keterbatasan Infrastruktur
6. Keterbatasan akses terhadap lembaga pemerintah dan intitusi lain.
bertolak dari banyak keterbatasan sebagaimana yang digambarkan diatas, maka sasaran proyek PMPD apabila dikwantitafkan atas dasar nilai UMR di daerah dengan rata-rata sebesar Rp. 300.000,- (di Luar Jawa) dan dihitung dengan ukuran beras untuk lokasi di luar jawa perhitungannya sebagai berikut
Rp. 300.000,- x 12 bulan = 765 Kg
Rp. 4.700,- (harga beras setempat)
jika dihitung dengan uang, besarnya sebagai berikut :
765 Kg x Rp. 4.700,- = Rp. 299.625,-
12 bulan
Atas dasar perhitungan diatas, jika dikwalitatifkan maka terhadap sasaran proyek PMPD( Modul 1-TOT , Cerd, 2004 : 42) dapat dipetakan sebagai berikut :
1) Masyarakat yang memiliki usaha dalam skala mikro;
2) Tingkat pendapatan sebesar Rp. 299.625,- perbulan
3) Keterbatasan akses terhadap lembaga keuangan
4) Kegiatan usaha bervariatif dan tersebar dimana-mana
5) kegiatan usahanya informal
6) asset yang dimilkinya dibawah 25 juta diluar tanah dan bangunan
7) Lingkup pasar usaha terbatas
8) tehnologi yang digunakan sederhana
9) Pengguna tenaga kerja tidak lebih dari 10 orang.
Salah satu komponen dari kegiatan PMPD dalam pengentasan kemiskinan serta merupakanan komponen yang diharapkan kelestariannya setelah proyek berakhir adalah dengan memberdayakan masyarakat pedesaan melalui pembentukan Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM) yang mempunyai tujuan untuk membantu kondisi keuangan anggotanya melalui kegiatan simpan pinjam, sekaligus menjadi lembaga penyedia modal kerja bagi masyarakat pedesaan. Sumber utama pendapatan LSPBM adalah memberikan pinjaman, hal ini merupakan salah satu tindakan saling membantu. Pelayanan pemberian pinjaman diutamakan untuk tujuan yang produktif, serta memajukan inisiatif kewiraswastaan masyarakat.
Sejak Tahun 2001 (awal pelaksanaan Proyek PMPD) sampai sekarang Kabupaten Konawe telah melaksanakan kegiatan tersebut pada 8 kecamatan, yang terbagi dalam 48 desa dengan sasaran desa/ kelurahan yang memiliki penduduk miskin yang cukup tinggi berdasarkan data BPS tahun 2001, serta desa/kelurahan tersebut berdekatan dengan pusat pertumbuhan Kabupaten Konawe yaitu Kecamatan Unaaha.
Kecamatan Lambuya adalah salah satu kecamatan yang telah memiliki hubungan langsung dengan Kecamatan Unaaha yang merupakan ibukota Kabupaten Konawe, sehingga merupakan kecamatan yang berdekatan dengan pusat pertumbuhan. Kecamatan ini menjadi salah satu dari 8 kecamatan yang menjadi lokasi sasaran pelaksanaan Program PMPD, yang terdiri dari 4 (empat) desa, yang salah satunya adalah Desa Waworaha.
Desa Waworaha dengan LSPBM Maju Sejahtera, menjadi lokasi Program PMPD sejak tahun anggaran 2004 berdasarkan laporan yang diberikan oleh Unit Pelaksana Proyek Kabupaten Konawe dan Konsultan Kabupaten per 31 Agustus 2006 merupakan desa yang berhasil dalam pengembangan LSPBM, di Kabupaten Konawe.
Namun demikian bagaimana pelaksanaan pemberdayaan masyarakat miskin Pedesaan melalui program LSPBM dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya, menjadi menarik untuk diteliti sebagai bahan kajian dan masukan bagi para pihak yang berkepentingan dalam pembangunan khususnya pembangunan yang berdimensi kerakyatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji Implementasi Proyek PMPD, khususnya pada pengembangan LSPBM dalam pemberdayaan masyarakat miskin di Desa Waworaha Kecamatan Lambuya tahun 2006.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan ulasan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimanakah tahapan-tahapan pemberdayaan masyarakat miskin dalam implementasi program Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM) di Desa Waworaha Kecamatan Lambuya Kabupaten Konawe ?
2. Bagaimana peran partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat miskin di Desa Waworaha Kecamatan Lambuya Kabupaten Konawe untuk pemanfaatan Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat ?
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat upaya pemberdayaan masyarakat miskin pada implementasi program Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM) di Desa Waworaha Kecamatan Lambuya Kabupaten Konawe?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada uraian latar belakang serta rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang ingin diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut
Untuk mengetahui secara mendalam implementasi program Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat dalam usaha pemberdayaan masyarakat miskin dengan cara mendiskripsikan dan menganalisis aspek-aspek yang berhubungan dengan :
1. Tahapan-tahapan pemberdayaan masyarakat miskin dalam implementasi program LSPBM di Desa Waworaha Kecamatan Lambuya Kabupaten Konawe yang meliputi
1) Tahun pertama Proyek PMPD;
1.1. Seleksi Kecamatan dan Seleksi Desa;
1.2. Kegiatan Sosialisasi Program;
1.3. Kegiatan Pengorganisasian Masyarakat
1.4. Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat;
1.5. Kegiatan Pembentukan dan Operasionalisasi LSPBM;
2) Tahun kedua hingga akhir Proyek PMPD;
Pengembangan LSPBM;
Pembentukan Asosiasi dan Pengembangannya
2. Peran partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat miskin di Desa Waworaha Kecamatan Lambuya Kabupaten Konawe untuk pemanfaatan program LSPBM, yang meliputi :
a. Perkembangan Keanggotaan LSPBM;
b. Perkembangan Simpanan Anggota LSPBM;
c. Perkembangan Pinjaman Yang Dicairkan LSPBM;
d. Tingkat Kesehatan LSPBM Maju Sejahtera;
e. Persentase Masyarakat Miskin Desa Waworaha Yang Menjadi Anggota LSPBM Maju Sejahtera;
f. Perkembangan Volume Usaha Anggota LSPBM;
3. Faktor-faktor pendukung dan penghambat upaya pemberdayaan masyarakat miskin dalam implementasi program LSPBM di Desa Waworaha Kecamatan Lambuya Kabupaten Konawe, sehingga mempengaruhi tujuan pelaksanaan program.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Konawe di dalam rangka pengentasan atau penanggulangan kemiskinan di Konawe pada tahun-tahun mendatang.
2. Secara operasional memberikan kontribusi praktis atau bahan masukan bagi para perumus dan pelaksana kebijakan pembangunan agar dijadikan contoh dan dikembangkan di daerah lain.
Anda bisa dapatkan Judul Skripsi Lengkap dengan pembahasanya. Anda bisa mendownload filenya lengkap dengan isinya dengan cara mengganti biaya pengetikan sebesarRp. 200.000,- Per Skripsi. Silahkan anda Pilih JudulSkripsi yang anda inginkan beserta kode nomor skripsi kewahyuddinyusuf87@gmail.com atau SMS
langsung kenomor 0819 3383 3343
Dengan format, Nama – Alamat – Kode dan judul Skripsi– e.mail – No.Hp. Semua File skripsi bisa anda unduh / Download apabila anda telah mendonasikan biaya pengetikan diatas.
Anda cukup mentransfer uang ke nomor rekening BRI 489201003415532 Atas nama Wahyuddin, SE
Mudah bukan....... Ayo tunggu apa lagi....
dari pada bingung
dari pada bingung
0 Response to "8. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN MELALUI PROGRAM LEMBAGA SIMPAN PINJAM BERBASIS MASYARAKAT (Kasus Desa Waworaha Kecamatan Lambuya Kabupaten Konawe)"
Post a Comment