Disiplined Pursuit of Less (1)
Biasanya saya malas membaca buku psikologi populer atau self-help. Bukan karena buku-buku genre itu tidak berguna, atau sekedar pengalaman personal yang kemudian dianggap akan berlaku pada semua orang. Saya tahu ada buku-buku psikologi populer yang bagus, ditulis oleh orang yang ahli, dan tidak melulu berdasarkan pengalaman personal yang sempit. Mungkin keengganan saya membaca buku psikologi populer memang irasional. Entahlah, lain kali saya akan menulis tentang sentimen ini.
Tapi apapun alasannya, beberapa waktu yang lalu saya terpikat pada sebuah buku berjudul “Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less”. Dan mungkin karena persekongkolan beberapa faktor – seperti terbatasnya kesempatan membuka laptop dan tidak ramahnya koneksi internet selama mudik lebaran – saya berhasil membaca buku tersebut dengan tuntas. Sesuatu yang semakin jarang bisa saya lakukan, gara-gara padatnya jadwal mengajar dan aktivitas kerja rutin lainnya.
Tapi apapun alasannya, beberapa waktu yang lalu saya terpikat pada sebuah buku berjudul “Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less”. Dan mungkin karena persekongkolan beberapa faktor – seperti terbatasnya kesempatan membuka laptop dan tidak ramahnya koneksi internet selama mudik lebaran – saya berhasil membaca buku tersebut dengan tuntas. Sesuatu yang semakin jarang bisa saya lakukan, gara-gara padatnya jadwal mengajar dan aktivitas kerja rutin lainnya.
The disciplined pursuit of less(selanjutnya saya singkat DPL). Frase yg padat dan sulit diterjemahkan dg enak ini sekaligus menggambarkan "laku" manajemen diri yg diuraikan sang penulis, Greg McKeown. Mudah diduga, inti dari laku tersebut bisa dirangkum dalam satu kata: fokus. Dan ini yang menarik perhatian saya. Selama dua tahun terakhir, setelah menyelesaikan studi lanjut, saya merasa tidak fokus. Terlalu banyak hal yang saya kerjakan, tanpa hasil yang benar-benar memuaskan. Persis seperti orang yang digambarkan di pembukaan buku ini sebagai korban dari “undisiplined pursuit of more”: menerima banyak tantangan, mengerjakan ini dan itu yang sepertinya sama-sama penting, namun pada akhirnya tidak sepenuhnya efektif.
Sebenarnya semula saya skeptis bahwa buku McKeown ini akan berguna. “Fokus” terasa klise sekali sebagai sebuah nasihat. Terlampau sederhana untuk layak dijabarkan dalam 250 halaman. Tapi saya salah duga. Ternyata ada banyak hal yg perlu dipahami dan dilakukan untuk bisa fokus. Yang pertama tentu menetapkan tujuan. Apa yang hendak kita fokuskan dan capai? Tentu, pertanyaan ini bisa diajukan pada berbagai jenjang, mulai dari target harian, sampai tujuan hidup.
Untuk menetapkan tujuan, McKeown menyarankan untuk mengeksplorasi sebanyak mungkin alternatif. Yang dicari adalah pilihan fokus yang dapat menjadi “highest point of contribution.” Bidang apa yang paling tepat menjadi area kita untuk berkarya? Dan dalam bidang itu, peran dan aktivitas apa saja yang bisa menjadi titik kontribusi maksimal kita? Dalam blognya di Harvard Business Review, McKeown menggambarkannya sebagai titik temu antara bakat, passion, dan kebutuhan orang banyak (lihat di http://blogs.hbr.org/2012/08/the-disciplined-pursuit-of-less/)
Ini tentu tidak mudah. Perlu waktu dan energi besar untuk mengeksplorasi berbagai pilihan yang kita punya. McKeown memberi beberapa tips praktis untuk itu, tapi menurut saya yang paling penting adalah cara pandang yang tepat, yakni bahwa hampir semua pilihan dalam hidup sebenarnya tidak esensial, dan hanya ada segelintir yang benar-benar layak untuk kita tekuni.
0 Response to "Disiplined Pursuit of Less (1)"
Post a Comment