HUKUM KESEHATAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas berkat dan anugrahNya yang diberikan kepada penulis hingga hari ini, sehingga penulis bisa menyusun Makalah ini, walaupun masih sangat jauh dari kekurangan dan kesempurnaan.
Adapun penyusunan Makalah ini, sehubungan dengan pemenuhan adanya tugas yang harus dikerjakan untuk mata kuliah hukum kesehatan.
Dan akhir kata penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Banda Aceh, 29 April 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ...... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Ruang Lingkup Hukum Kesehatan ...................................................... 1
B. Pengertian Hukum Kesehatan............................................................... 2
BAB II HUBUNGAN HUKUM DALAM PELAYANAN KESEHTAN......... 4
A. Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien ............................... 4
B. Asas – Asas Hukum Yang Berkaitan Dengan Dokter dan Pasien........ 6
C. Hak dan Kewajiban Dokter dalam Memberikan Pelayanan Kesehatan 9
D. Hak dan Kewajiban Pasien Dalam Transaksi Teraupeutik ................ 12
E. Contoh Kasus...................................................................................... 14
BAB III PENUTUP............................................................................................... 20
A. Kesimpulan.......................................................................................... 20
B. Saran.................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Ruang Lingkup Hukum Kesehatan
Dewasa ini kemajuan iptek dibidang kesehatan telah sangat berkembang pesat dengan di dukung oleh sarana kesehatan semakin canggih, perkembangan ini turut mempengaruhi jasa profesionalisme di bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu semakin berkembang pula.
Dalam banyak hal yang berhubungan denngan masalah kesehatan , sering di temui kasus – kasus yang merugikan pasien, oleh sebab itu tidak mengherankan apabilaprofesi kesehatan ramai di perbincangkan baik di kalangan masyarakat ataupun di kalangan intelektual. Sehingga sering timbul gugatan dari pasien yang merasa dirugikan akibat adanya kesehatan atau kelalaian yang di lakukan oleh tenaga kesehatan di dalam melaksanakan pemberian pelayanan kesehatan, maka keadaan – keadaan seperti inilah yang menunjukkan suatu gejala, bahwa dunia kesehatan (pelayan kesehatan ) mulai di landa krisis etik – etik medis, bahkan juga krisis keterampilan medis yang pada dasarnya semuanya tidak dapat tidak dapat di selesaikan dengan kode etik etika profesi para tenaga kesehatan semata, melainkan harus diselesaikan dengan cara yang lebih luas, yaitu melalui jalur hukum.
Munculnya kasus – kasus pelayanan kesehatan yang terjadi di tengah – tengah lapisan masyarakat dalam hal masalah kesehata dan bnyaknya kritikan – kritikan yang muncul terhadap pelayanan kesehatan itu merupakan indikasi bahwa kesadaran hukum oleh masyarakat dalah hal masalah kesehatan semakin meningkat pula.
Hal ini juga yang menyebabkan masyaraaakat tidak mau lagi menerima begitu saja cara pelayanan yang kurang efisien yang akan dilakukan para tenaga medis kesehatan kepada masyaraakat, akan tetapi engin menjalani bagaimana pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat itu harus dilakukan, serta bagaimana masyarakat harus bertindak sesuai denagn hak dan kepentinganya apabila mereka menderita kerugian akibat dari kelalaian pelayanan kesehatan yang pada dasarnya adalah kesalahan atau kelalaian pelayan kesehatan merupakan suatu hal yang penting untuk di bicarakan dalam hal ini yang di sebabkan akibat dari kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tersebut yang mempunyai
dampak yang sangat merugikan, selain merusak atau mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi pelayanan kesehatan, juga menimbulkan kerugian terhadap pasien atau masyarakat.
Maka untuk itu di dalam memahami ada tidak adanya kesalahan ataupun kelalaian yang dilakuakan tenaga medis , maka hal itu harus dihadapkan dengan kewajiban profesi disamping harus pula memperhatikan aspek hukum yang mendasari terjadinya hubungan hukum antara dokter dengan pasien, yang di karenakan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsipnondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional mengingat bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-citabangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
B. Pengertian Hukum Kesehatan
Istilah hukum kesehatan ( medical law ) dalam negara yang menganut sistim hukum eropa kontinental ( anglo saxon ) seperti, belanda , perancis berbeda dengan health law bagi negara yang menganut sistim hukum common law system ( amerika serikat, inggris ) yang dikarenakan bahwahelath law merupakan istilah ruang lingkupanya lebih luas dibanding dengan medical law karena sebagian orang yang menyatakan bahwa medical law adalah bagian dari health law.
Menurut prof. Van der mija yang mengatakan bahwa hukum kesehatan adalah merupakan sekumpulan peraturan yang berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga penerapanya kepada hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administrasi negara.Sedangkan hukum medis ( medical law ) yaitu hukum yuridis dimana dokter menjadi salah satu pihak dan bagian dari hukum kesehatan.
Sedangkan menurut prof. H.J.J. Leneen mengatakan bahwa hukum kesehatan adalah semua peraturan – peraturan hukum yang berhubungan langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan penerapanya kepada hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administarsi negara.
Dari dua pengertian yang di kemukakan diatas maka hukum kesehatan itu mencakup ruang lingkup yang lebih luas dari pada medical law. Pada medical law berkaitan dengan segi penyembuhanyan saja, sedangkan dalam hukum kesehatan ( health law ) meliputi tidak hanya dalm segi penyembuhan akan tetapi juga meliputi sampai ke pemulihan pasien.
Dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang di maksud dengan Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit.
BAB II
HUBUNGAN HUKUM DALAM
PELAYANAN KESEHATAN
A. Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien pada dasarnya adalah merupakanperjanjian perbintenis yang di karena berupaya untuk mewujudkan apa yang di perjanjikan kedua pihak antara dokter dengan pasien, yang sebagaimana diatur dalam pasal 1320 kitab undang hukum perdata tentang sahnya suatu perjanjian. Ketika hubungan antara dokter dan pasien termasuk dalam ruang lingkup perjanjian, maka apaun ketentuan – ketentuan yang di atur pada KUHPeradata berlaku terhadap perjanjian teraupeutik, yang karena pada dasarnya kedatangan seorang pasien kepada dokter dianggap sudah adanya perjanjian ( mutual consent )
Dalam tahapan perkembangan hubungan hukum antara dokter dengan pasien di dalam memberikan pelayanan kesesahatan ini dikenal menjadi 3 ( tiga ) tahapan perkembangan hubungan hukum yaitu sebagai berikut :
1. Hubungan aktif – pasif.
Pada tahapan hubungan ini, pasien tidak memberikan kontribusi apapun, dimana pasien hanya menyerahkan sepenuhnya akan tindakan dokter yang akan di lakukan dalam hal pemberian jasa kesehatan.
2. Hubungan kerja sama terpimpin.
Pada tahapan hubungan ini, sudah tampak adanya partisipasi dari pasien dalam proses pelayanan kesehatan sekalipun peranan dokter masih bersifat dominan di dalam menetukan tidakan – tindakan yang akan di lakukan, pada thapan ini pula kedudukan dokter sebagai orang yang di percaya oleh pasien masih bersifat signifikan.
3. Hubungan partisipasi bersama.
Pada tahapan hubungan ini, pasien menyadari bahwa dirinya, sederajat dengan dokter dan dengan demikian apabila terbentuk suatu hubungan hukum maka hubungan tersebut dibangun atas dasar perjanjian yang di sepakati bersama antara pasien dengan dokter.
Menurut Lumenta hubungan antara dokter dengan pasien ada 3 ( tiga ) hubungan yanitu :
1. Hubungan patnerlistik.
2. Hubungan individualistik.
3. Hubungan kolegial.
Sedangkan menurut Veronika Komalawati bahwa hubungan antara dokter dengan pasien di kenal dengan 3 ( tiga ) tahapan yaitu :
1. aktiviti – pasivity relation.
2. Qwidance corporation relation.
3. Mutual partisipation.
Menurut Dasen sebagai mana di kutip oleh Soejhono Soekanto ada terdapat beberapa alasan mengapa seorang pasien mendatangi dokter, yaitu :
1. Pasien pergi kedokter semata – mata karena ada merasa sesuatu yang membahyakan kesehatanya.
2. Pasien pergi kedoter di karenakan mengetahui bahwa dirinya sakit dan dokter dianggap mampu intuk menyembuhkan.
3. Pasien pergi keokter guna mendapatkan pemeriksaan yang intensif dan mengobati penyakit yang di temukan.
Di dalam hubungan hukum antara dokter dengan pasien menurut undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pada pasal 52 dan pasal 53 dalam hal hak dan kewajiban pasien ditemui hubungan hukum pasien dengan dokter yaitu :
1. Pasal 52 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak sebagai berikut :
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
2. Dan di Pasal 53 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
B. Asas – Asas Hukum Yang Berkaitan Dengan Dokter Dengan Pasien
Di dalam hubungan hukum antara dokter dengan pasien terdapat beberapa asas – asas yang di atur di dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, pasal 2 sebagai mana di sebutkan bahwa Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien.
Di dalam penjelasan pasal 2 Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dapat diartikan asas – asas tersebut di dalam pegertianya di uraikan yang mana di dalam ketentuan ini yang dimaksud adalah :
a. Nilai ilmiah adalah bahwa praktik kedokteran harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh baik dalam pendidikan termasuk pendidikan berkelanjutan maupun pengalaman serta etika profesi
b. Manfaat adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
c. Keadilan adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu
d. Kemanusiaan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran memberikan perlakuan yang sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras
e. Keseimbangan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran tetap menjaga keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat
f. Perlindungan dan keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien.
Maka selain dari pada itu, ada pula yang menyebutkan beberapa asas yang harus di pedomani oleh dokter untuk menjadikan dasar dalam pemberian pelayanan kesehatan yaitu :
1. Asas legalitas.
2. Asas keseimbangan.
3. Asas tepat waktu.
4. Asas kejujuran.
5. Asas keterbukaan.
6. Asas kehati – hatian.
Demikian pula di dala informed konsent ( persetujuan medes ) menganut ada 2 ( dua ) unsur antara lain yaitu :
a. Informasi yang di berikan oleh dokter kepada pasien mengenai tindakan apa yang di lakukan.
b. Persetujuan yang di berikan oleh pasien kepada dokter.
Seperti yang di maksud di dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran di dalam pasal 45 yang menyatakan bahwa :
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. alternatif tindakan lain dan risikonya
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Perjanjian teraupeutik sebagaimana di dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 80 tahun 1969 yang di sempurnakan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 483/Men.Kes/X/1982, yang mengatakan tentang Transaksi Teraupeutik adalah perjanjian antara dokter dan pasien yang berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Berbeda dengan perjanjian yang pada umumnya, karena ke khususan itu terletak pada objek yang di perjanjikan, akan tetapi disini adalah yang menjadi objek yang di perjanjikan adalah upaya untuk melakukan penyembuhan pasien.
Dengan demikian maka perjanjian teraupeutik adalah suatu perjanjian untuk menetukan atau upaya mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang di lakukan oleh dokter. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien merupaka perjanjian perbintens, karena berupaya untuk mewujudkan apa yang di perjanjiakan.
Dalam hal terpenuhinya suatu perjanjian transaksi teraupeutik, maka dalam hal ini pasien bisa saja melakuakan tuntutan hukum kepada tenaga kesehatan dalam masalah pertanggung jawaban hubungan hukum antara dokter dan pasien, apabila dokter melakukan penyimpangan, malaui tuntutan, antara lain:
a) dalam aspek hukum perdata.
· Wanprestasi pasal 1339 KUHPerdata.
Di katakan wanprestasi pabila :
a. Tidak melakukan apa yang disepakati
b. Melakukan apa yang di sepakati tetapi terlambat
c. Melakukan apa yang di sepakati tetapi tidak sebagaimana yang di perjanjiakan.
d. Melakukaan surat perbuatan yang menurut hakikatnya perjanjian itu tidak di perbolehkan.
· Onrecht mangitedaad ( perbuatan melawan hukum ) pasal 1365 KUHPerdata.
KUHPerdata pasal 1365 yang mengatakan yang perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Unsur perbuatan melawan hukum ( Onrecht mangitedaad ) yaitu :
Menimbulkan kerugian kepada orang lain, yang di sebabkan antara lain :
a. Adanya kesalahan.
b. Adanya kerugian yang di timbulkan.
c. Adanya hubungan hukum antara kalusual dengan perbuatan yang di lakukan.
b) Dalam aspeh hukum pidana
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam aspek hukum pidana dapat dilihat apabila pada saat memberikan pelayanan kesehatan ditemukan adanya kesalahan dan kerugian yang di timbulkan. Sebagai mana di sebut dalam pasal 359 dan 361 KUHP yang mengakibatkan orang mati atau luka yang karena salahnya. Untuk melihat adanya kesalahan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan adalah dapat dilihat melaui satandart operasional prosedural dan medical record.
C. Hak Dan Kewajiban Dokter Dalam Memberikan Pelayanan Kesehatan
Dari sudut pandang sosiologis seorang dokter yang melakukan hubungan atau transaksi teraupeutik, masing – masing mempunyai kedudukan dan peranan. Kedudukan yang dimaksud disini adalah kedudukan yang berupa wadah, hak dan kewajiban. Sedangkan peranan merupakan pelaksanaan hak – hak dan kewajiban tersebut. Secara sederhana dapat di katakan bahwa hak itu merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan kewajiban adalah tugas atau beban yang harus di laksanakan.
Dahulu kedudukan doter di anggap lebih tinggi dari pasien dan oleh karena itu perananaya lebih penting pula. Dalam perkembangan kehidupan masyarakat hubungan dokter dengan pasien secara khusus mengalami perubahan bentuk, hal itu di sebabkan oleh beberapa faktor, antara lainya ialah sebagai berikut ini :
1. Kepercayaan tidak lagi tertuju kepada dokter pribadi, akan tetapi kepada kemampuan iptek kesehatan.
2. Masyarakat menganggap bahwa tugas dokter itu bukan hanya melakukan penyembuhan, akan tetapi juga di lakukan pada perawatan.
3. Adanya kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan bukan lagi merupakan keadaan tanpa penyakit, akan tetapi lelbih berarti oada kesejahteraan fisik, mental, dan sosial.
4. Semakin banyaknya perturan yang memberikan perlindungan hukum kepada pasien, sehinggga lebih mengetahui dan memahami hak – haknya dalam hubunganya dengan dokter.
5. Tingkat kecerdasan masyarakat menegenai kesehatan semakin meningkat.
Menurut Leneen sebagaimana yang di kutip olehsoejono soekanto yang menyatakan bahwa manusia itu mempunyai 2 ( dua ) macam hak asasi yaitu, hak asasi sosial, dan hak asasi individual. Diamana batas antara keduanya agak kabur, sehingga di perlukan suatu landasan pemikiran yang berbeda, hal itu dikarenakan hak asasi individual mempunyai aspek sosial, hal ini berarti kedua kategori hak asasi tersebut dalam kenyataanya mengungkapkan dimensi individual dan dan sosial dari keberadaan atau existensi sesuatu hak atas pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak asasi sosial manusia, dengan demikian untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, pemerintah telah menetapkan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, sebagai pengganti undang – undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, khususnya di pasal 48 yang menyatakan bahwa :
1. Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan :
a. Pelayanan
b. pelayanan kesehatan
c. pelayanan kesehatan tradisional
d. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit
e. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
f. kesehatan reproduksi
g. keluarga berencana
h. kesehatan sekolah
i. kesehatan olahraga
j. pelayanan kesehatan pada bencana
k. pelayanan darah
l. kesehatan gigi dan mulut
m. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran
n. kesehatan matra
o. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi danalat kesehatan
p. pengamanan makanan dan minuman
q. pengamanan zat adiktif; dan/atau
r. bedah mayat.
2. Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh sumber daya kesehatan.
Menurut Leneen kewajiban dokter dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dibagi menjadi 3 ( tiga ) kelompok yaitu :
1. Kewajiban yang timbul dari sifat peralatan medis dimana dokter harus bertindak, harus sesuai dengan standart profesi medis.
2. Kewajiban untuk menghormati hak – hak pasien yang bersumber dari hak asasi di bidang kesehatan.
3. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan.
Kewajiban dokter terhadap pasien di dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di atur lebih kongkrit di dalam pasal 51 Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi bahwa Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Selain itu, kewajiban dokter di dalam memberikan pelayanan kesehatan dapat juga dilihat di dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 1983 Tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang menytakan bahwa dokter memiliki serangkaian kewajiban yaitu :
a. kewajiban umum.
b. Kewajiban terhadap penderita.
c. Kewajiban terhadap rekan sejawat.
d. Kewajiban terhadap diri sendiri.
Selain dari pada kewajiban dokter di dalam memberikan pelayanan kesehatan, dokter juga memiliki hak, sebagaimana yang di atur di dalam pasal 50 Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, yang menyatakan bahwa Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
d. menerima imbalan jasa.
D. Hak Dan Kewajiban Pasien Dalam Transaksi Teraupeutik
Secara normatif hak dan kewajiban pasien di atur di dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pada pasal 52 dan pasal 53 dalam hal hak dan kewajiban pasien ditemui hubungan hukum pasien dengan dokter yaitu :
1. Pasal 52 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak sebagai berikut :
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3).
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
2. Dan di Pasal 53 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Berkaitan dengan hak pasien untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana yang di maksud di dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran di dalam pasal 45 yang menyatakan bahwa :
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. alternatif tindakan lain dan risikonya
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Selain dari pihak pasien yang di atur di dalam perundang – undangan maka hak pasien juga di cantumkan di dalam peraturan Kode Etik Profesi Kedokteran Indonesia yaitu :
1. hak untuk hidup, hak atas tubuhnya, dan hak untuk mati secara wajar.
2. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan standart profesi kedokteran.
3. Hak memperoleh penjelasan secara lengkap tenetang diagnosa dan terapi medis yang di lakukan oleh dokter di dalam mengobatinya.
4. Hak untuk menolak prosedur diagnosis dan terapi yang akan di rencanakan, bahkan untuk menarik diri dari kontrak teraupeutik.
5. Hak atas kerahasiaan atau rekam medic yang bersifat pribadi.
E. Contoh Kasus
1. Kasus Malpraktik dalam bidang Orthopedy Gas Medik yang Tertukar
eorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebi dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy).
Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator).
Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.
Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi (N2O) yang dipasang pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal.
Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi (N2O) yang dipasang pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal.
Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi. Padahal seharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggung jawab.
Tinjauan Kasus
Kasus tersebut merupakan bentuk malpraktik pidana sebab telah melanggar beberapa aturan dalam KUHP untuk kelalaian yang berlaku bagi setiap orang, yang diatur dalam Pasal 359, 360, dan 361 KUHP
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
(1) ‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’.
(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
2. Kasus Etika
Dokter andi menerima seorang pasien laki-laki setengah baya, tampak kekahsia, berjalan tertatih-tatih dan terus batuk dihadapannya. Pasien itu ditemani oleh anak perempuannya yang kurus. Dokter tersebt enggan melakukan anamnesis dan langsung memeriksa si pasien.
Ketika si anak bertanya tentang penyakit ayahnya, dokter Andi tidak menjawab, ia hanya menyarankan minum obat dengan teratur dan memberikan resep. Si anak bertanya lagi tentang cara minum obat, tetapi dokter Andi menyarankan bertanya pada petugas apotek tempat mengambil obat.
Merasa diremehkan, sang ayah dan anaknya keluar dari kamar dokter tanpa mengucapkan salam, wajah mereka tampak tidak puas.
Kaidah Dasar Bioetik (KDB) terkait dengan skenario:
a. Beneficence
Pada skenario kita dapat mengetahui bahwa dokter tidak menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan dan tidak memaksimalisasi/freferensi pasien. Pasien tidak merasa puas dengan pelayanan dokter Andi.
b. Non maleficence
Pada skenario tersebut dokter Andi dalam mengobati pasien tidak profesional dan menghindari misrepresentasi dari pasien.
c. Autonomy
Dokter Andi tidak memanfaatkan autonomy pasien dan tidak melaksanakan informed constent dengan baik, dokter tersebut langsung memeriksa pasiennya tanpa menganamnesis terlebih dahulu.
Pelanggaran
Pasal 12 ayat 1:
“Hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental” tidak mencakup area pelayanan kesehatan.
Pasal 2
Setiap dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan semua ilmu dan keterampilan untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan/pengobatan. Maka atar persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
3. Kelalaian dua bidan dalam proses persalinan
3 Januari 2009 chori datang ke klinik fitria tempat kedua bidan Desi dan Siska bekerja. Chorori sudah dalam keadaan mau melahirkan bahkan usia kandungannya sudah melewatu usia sembilan bulan. Keduaa bidan membantu persalinan, namun setelah 2 jam bayi belum juga lahir. Chori pun letih dan tidak bisa lagi mengejan, saat iti ketuban Chori sudah pecah. Karena tempo yang terlalu lama akhirnya Chori mengalamiinfeksi saluran peranakan karena air ketubannya berwarna hijau. Seharusnya Chori langsung dirujuk ke RS, bidan tersebut jangan lalai bertele-tele karena akibatnya bisa fatal.
Kasus ini merupakan pelanggaran etika profesi dimana seharusnya pasien mendapatkan pelayanan yang baik. Seharusnya bidan apabila tidak mampu melakukan pemeriksaan harus segera dirujuk ke rumah sakit, jangan menunda-nundanya.
Pelanggaran
Lalai sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka (pasal 359, 360, dan 361 KUHP)
4. Kasus Aborsi
Kasus ini terjadi di Medan. Terkait kasus dugaan melakukan aborsi di salah satu rumah yang diduga dijadikan sebagai tempat praktek aborsi di Jalan Lubuk Kuda Gang Marco Sentosa Lama yang digerebek anggota Reskrim Poltabes Medan, Sabtu (12/12) lalu, dua orang telah dijadikan tersangka dan masih ditahan di Mapoltabes Medan. Kedua tersangka yakni Dr J dan Bidan M.
Kasat Reskrim Kompol Gidion Arif Setyawan SIK dan Kanit VC Poltabes Medan AKP Ronny Nicolas Sidabutar SIK saat dikonfirmasi SIB, Senin (14/12) membenarkan bahwa pihaknya telah menetapkan Dr J dan Bidan M sebagai tersangka dan masih ditahan di Mapoltabes Medan guna pengusutan lebih lanjut.
Untuk biaya aborsi, R dikenakan biaya Rp 2 juta oleh tersangka. Diduga, R melakukan aborsi atas kemauan dirinya sendiri.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, penggerebekan itu berawal dari adanya laporan masyarakat yang menyebutkan bahwa satu rumah di Jalan Lubuk Kuda Gang Marco Sentosa Lama kerap kali dijadikan tempat praktek aborsi.
Kemudian anggota Unit VC Reskrim Poltabes Medan melakukan penyelidikan di lapangan sekaligus menggerebek rumah tersebut. Dr J dan Bidan M yang diduga sebagai pelaku aborsi tersebut selanjutnya diboyong ke Mapoltabes Medan untuk diperiksa.
Pelanggaran
Jadi, pada kasus aborsi di atas, pelaku (bidan) ditindak oleh kepolisian dan dijerat KUHP Bab XIX Pasal 299, 348 dan 349 serta UU Kesehatan No.23 tahun 1992 Pasal 80 ayat 1. Dan bidan tersebut dicabut ijin praktiknya. Sedangkan korban dijerat KUHP pasal 346.
5. Kasus Penipuan
Penipuan di klinik Metropole Jakarta Barat yakni soal operasi yang dilakukan oleh klinik. Pasalnya setelah diketahui dari hasil penyidikan, tak jarang klinik hanya pura-pura melakukan operasi.
Dari hasil penyelidikan sementara didapatkan Sudin Kesehatan Jakbar hanya mengeluarkan izin untuk klinik pratama, artinya hanya boleh untuk praktek dokter.
Namun dalam kenyataannya, klinik tersebut seolah-olah memiliki izin utama dan membuat rawat inap serta operasi kecil.
"Ini yang dikeluhkan masyarakat dan puskesmas. Sebulan yang lalu Sudin Kesehatan melakukan penutupan," kata Rikwanto.
Lalu setelan beberapa lama praktek, klinik berani menyebarkan brosur dan beriklan bahkan membuat website, yang intinya sanggup mengobati beberapa penyakit dengan harga bersaing.
Beberapa pasien yang berobat kesana, setelah beberapa kali pemeriksaan rata-rata harus menjalani operasi. Namun pada kenyataannya hanya seolah-olah operasi.
"Dibius, diinfus, kurang lebih 30 menit, pasien dinyatakan sudah dioperasi dan boleh pulang. Namun sebelumnya harus membayar puluhan juta rupiah untuk biaya operasi, padahal belum tentu korban dioperasi sungguh-sungguh, hanya pura-pura saja," ucap Rikwanto.
Pelanggaran
Tersangka dijerat dengan pasal 80 Pasal 42 dan atau Pasal 77 UURI No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan atau Pasal 201 Pasal 198 Pasal 108 UURI No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan atau Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Standar pelayanan medis ini merupakan hukum yang mengikat para pihak yang berprofesi di bidang kesehatan, yaitu untuk mengatur pelayanan kesehatan dan mencegah terjadinya kelalaian staff medis dalam melakukan tindakan medis. Dalam kaitannya dengan profesi dokter di perlukan estándar pelayanan medis yang mencakup : standar ketenangan, standar prosedur, standar sarana, dan standar hasil yang di harapkan.
Untuk standar pelayanan medis baiknya ada persiapan lebih dulu sebelum memulai tindakan operasi agar tindakan pembedahannya berjalan dengan lancar sesuai dengan standar operasional prosedur medic. Untuk pertanggung jawaban kasus ini lebih menitik beratkan pada pihak rumah sakit sebagai penyedia sarana kesehatan yang kurang maksimal dimana fasilitas pelayanan rumah sakit tersebut masih di bawah standar di lihat dari segi kualitas mutu pelayanan kesehatan.
B. Saran
1. Pemahaman dan bekerja dengan kehati-hatian, kecermatan, menghindarkan bekerja dengan ceroboh, adalah cara terbaik dalam melakukan praktek kedokteran sehingga dapat terhindar dari kelalaian/malpraktek.
2. Standar profesi kedokteran dan standar kompetensi rumah sakit merupakan hal penting untuk menghindarkan terjadinya kelalaian, maka perlunya pemberlakuan standar praktek kedokteran Nasional dan terlegalisasi dengan jelas.
3. Rumah Sakit sebagai institusi pengelola layanan praktek kedokteran dan tenaga kesehatan harus memperjelas kedudukannya dan hubungannya dengan pelaku/pemberi pelayanan keperawatan, sehingga dapat diperjelas bentuk tanggung jawab dari masing-masing pihak
4. Baiknya sebelum melakukan kegiatan pembedahan, jangan lupa untuk mengecek alat-alat di dalam ruangan operasi.
DAFTAR PUSTAKA
Chandrawila Supriadi, Wila. Hukum Kedokteran, Cv Mandar Maju, Bandung, 2001.
Komalawati, D. Veronica, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989.
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Ameln,F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Dahlan, S., 2002, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Guwandi, J., 1993, Malpraktek Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Guwandi, J., 1993, Malpraktek Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.
0 Response to "HUKUM KESEHATAN"
Post a Comment