Peran Teori dalam Merancang Penelitian Kuantitatif


Langkah awal merancang riset kuantitatif adalah mempelajari teori. Bukan memilih variabel-variabel penelitian dan mencari-cari hubungannya. Ini penting untuk diperhatikan, karena riset kuantitatif yang diawali dari upaya menghubung-hubungkan variabel biasanya hanya akan menghasilkan angka-angka yang tidak bermakna. Angka-angka tersebut mungkin saja signifikan secara statistik. Tapi signifikansi statistik jelas beda dari signifikansi alias arti penting secara substansi.

Demikian intisari tulisan (bahan kuliah) minggu lalu. Dalam tulisan kali ini, saya akan mencoba memberi gambaran lebih jelas tentang tahap awal perancangan riset kuantitatif. Contoh-contoh yang akan saya paparkan terbatas pada bidang keahlian saya, ilmu kognitif dan psikologi pendidikan. Namun sebagian yang saya sampaikan seharusnya masih relevan untuk bidang lain, setidaknya dalam ranah ilmu-ilmu sosial empiris.

Nah, mengapa teori? Jawaban singkatnya, teori menyediakan konsep-konsep yang bisa menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa sesuatu terjadi. Sebagai ilustrasi, katakanlah anda tertarik meneliti mengapa sebagian siswa gagal sedangkan sebagian yang lain berhasil di sekolah. Variasi antar individu (individual differences) semacam ini adalah fenomena yang sering menarik perhatian ahli psikologi. Dari pengalaman, kita bisa menduga bahwa kegagalan dan keberhasilan di sekolah terkait dengan malas-rajin atau kepintaran/kebodohan. Siswa yang malas dan bodoh akan terancam gagal, sedangkan mereka yang rajin dan pintar akan berhasil di sekolah.

Malas, rajin, pintar, dan bodoh sebenarnya juga konsep, tapi konsep-konsep awam. Konsep yang kita kenal dari percakapan dan pengalaman sehari-hari. Karena bukan hasil pemikiran yang sistematis, makna konsep awam biasanya tidak presisi. Maknanya kabur dan seringkali tumpang tindih. “Rajin belajar”, misalnya, bisa punya beragam makna. Apakah siswa yang selalu mengerjakan PR pelajaran bahasa Indonesia, tapi jarang membaca novel dan puisi, bisa dikatakan rajin belajar bahasa?

Konsep “pintar” juga demikian. Kepintaran sering dilihat dari prestasi sekolah. Siswa yang pintar adalah mereka yang nilainya bagus atau juara kelas. Tapi ini mengacaukan antara dua hal yang berbeda: atribut individu (tingkat “kepintaran”) dan keberhasilan akademik (“prestasi”). Pintar kadang disamakan dengan inteligensi yang dilihat dari tes IQ. Tapi apa arti inteligensi? Orang awam akan menjawab, inteligensi ya kepintaran atau kecerdasan. Definisinya menjadi circular alias hanya berputar-putar saja.

Di sinilah kita mulai perlu bantuan teori ilmiah. Dengan teori “determinasi diri” (self determination theory), misalnya, kita bisa membedakan antara motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik pun masih bisa dibagi menjadi empat jenis berdasarkan sumbernya. Teori ini juga mendefinisikan tiap jenis motivasi secara eksplisit. Dengan begitu, peneliti tidak mudah mencampuradukkan hal-hal yang sebenarnya berbeda. Makna temuan penelitian pun akan lebih jernih.

Selain menyediakan cara mendefinisikan hal-hal yang akan kita teliti, teori ilmiah juga menguraikan mekanisme yang memunculkan fenomena. Untuk fenomena perilaku belajar, misalnya, teori determinasi diri akan menjelaskan bahwa jenis motivasi yang diadopsi seorang siswa akan tergantung pada lingkungan. Lebih spesifiknya, teori tersebut menjelaskan bahwa manusia punya tiga kebutuhan psikologis mendasar: kebutuhan akan otonomi, kebutuhan mengembangkan kompetensi, dan kebutuhan untuk merasa menjadi bagian berharga dari sebuah komunitas. Dalam lingkungan kelas/sekolah memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, siswa akan terdorong untuk belajar secara intrinsik, tanpa perlu diberi janji-janji hadiah atau ancaman.

Singkat kata, teori ilmiah menyediakan definisi dan penjelasan tentang sebuah fenomena. Dalam konteks metodologi kuantitatif, teori ilmiah menyediakan variabel-variabel yang bisa kita pilih sebagai fokus penelitian. Dengan memahami teori, secara otomatis kita akan disodorkan pada pilihan variabel penelitian beserta penjelasan teoretis mengenai dinamika yang menghubungkan variabel-variabel tersebut.

Karena realitas sosial cenderung kompleks, berlapis-lapis, dan dipengaruhi subjektivitas, biasanya ada banyak teori yang saling berkompetisi untuk menjelaskan sebuah fenomena. Untuk fenomena perilaku belajar dan keberhasilan akademik, misalnya, ada teori determinasi diri dari Ryan dan Deci, teori sosial kognitif-nya Albert Bandura, teori sosial-kognitifnya Carol Dweck, teori orientasi tujuan, dll. Itu baru rumpun teori yang berfokus pada dinamika motivasional. Ada lagi rumpun teori yang berfokus pada proses kognitif, termasuk berbagai turunan dari teori konstruktivisme Piaget dan turunan teori konstruktivisme-sosialnya Vygotsky.

Banyaknya pilihan ini memang bisa menjadi masalah juga, terutama bagi pemilih pemula. Bagi peneliti pemula, dunia teori bisa terlihat seperti hutan belantara yang mengerikan. Tapi bagaimanapun, mengenali teori adalah langkah awal untuk meneliti. Anggap saja beragam teori itu sebagai pilihan sajian di meja buffet. Pilih saja yang paling menarik bagi anda dan mulailah mengunyah!

(Materi kuliah Metode Riset Kuantitatif, oleh Anindito Aditomo, Fakultas Psikologi Universitas Surabaya)

0 Response to "Peran Teori dalam Merancang Penelitian Kuantitatif"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel