BERPIKIR ADALAH KETERAMPILAN
SEBAGIAN kita menganggap berpikir merupakan suatu kebutuhan. Ketika ada masalah atau problem baru orang mulai berpikir. Jika tidak ada masalah, orang tenang-tenang dan tidak berpikir. Selain itu, ada orang beranggapan bahwa berpikir adalah faktor bawaan. Karena itu, kita tidak dapat mengubah ke arah yang lebih baik lagi. Usaha kita dianggap akan sia-sia dan tidak berarti bagi perkembangan keterampilan berpikir. Sungguh ironis bila keterampilan berpikir disejajarkan dengan tingkat pendidikan. Orang yang tinggi pendidikan tentu baik keterampilan berpikirnya dan sebaliknya.
Ketarampilan berpikir juga dapat disejajarkan dengan keterampilan bicara. Bila orang terampil bicara di depan publik dianggap terampil berpikir dan yang tidak pandai bicara artinya kurang terampil berpikir. Dan lebih parah lagi bahwa mata pelajaran yang diajarkan di sekolah bahkan di perguruan tinggi dapat diasumsikan sebagai sarana melatih keterampilan berpikir. Ternyata tidak benar anggapan itu. Berpikir bukan sekadar kebutuhan. Juga bukan hanya faktor bawaan, tingkat pendidikan, banyak bicara, dan mempelajari sejumlah mata pelajaran di sekolah atau kampus. Keterampilan berpikir harus dilatih seperti keterampilan bernyanyi, akting, bersepeda dll. Keterampilan berpikir dapat dilatih, dipelajari, dan didalami oleh siapa saja tanpa kenal usia. Edward de Bono menganjurkan agar anak sejak usia dini mulai dilatih keterampilan berpikir.
Pendidikan kita selama ini tidak mengarah pada latihan keterampilan berpikir kepada peserta didik. Pendidikan terlanjur identik dengan pengajaran serangkaian mata pelajaran di kelas. Hal yang sama juga di perguruan tinggi. Mahasiswa pun hanya dibekali untuk menguasai bahan-materi kuliah. Semuanya itu demi angka-angka (nilai rapor dan ijazah). Aneka cara memodifikasi strategi dan pembaruan sistem pembelajaran, bongkar pasang kurikulum dan sebagainya, tetapi tidak banyak berarti bagi perkembangan keterampilan berpikir. Dan lebih parah lagi pemerintah masih bersikukuh untuk melaksanakan ujian akhir nasional (UAN). Pergantian demi pergantian, perbaikan demi perbaikan, seolah tiada hentinya. Seperti motto suzuki “inovasi tiada henti”. Akan tetapi, semuanya itu tidak banyak berarti dan menjadi kontribusi dalam pendidikan untuk melatih keterampilan berpikir pada peserta didik.
Kita berharap ada perbaikan yang menjamin perubahan menuju masyarakat terdidik yang terampil berpikir. Praktisi pendidikan baik di tingkat yang paling atas sampai pada guru mata pelajaran harus memberi ruang gerak untuk melatih keterampilan berpikir kepada peserta didik. Akan tetapi, bagaimana mungkin itu dapat terjadi bila mereka sendiri tidak memahami dan mengerti tentang keterampilan berpikir? Dari dahulu pendidikan kita tidak mengajarkan dan melatih bagaimana peserta didik terampil berpikir. Kurikulum nasionalnya pun tidak menekankan bagaimana mencerdaskan diri, mengembangkan diri, dan mengkreasi diri untuk terampil berpikir. Semuanya sudah tertutup bagi peserta didik.
Kita terkondisi karena perintah dan kebijakan atasan. Akhirnya pendidikan hanya mencetak generasi seperti beo dan robot saja. Para pelajar dan mahasiswa kita hanya dapat berpikir secara terpimpin, yakni hanya sanggup menguasai atau menghafal bahan-bahan pelajaran, buku teks, kuliah, diktat tanpa ada kemampuan berpikir secara kritis yang mutlak dalam menuntut ilmu. Bahkan para guru dan dosennya pun tidak mampu lagi berpikir kritis, cerdas, kreatif, dan bijak untuk melatih siswa dan mahasiswanya terampil berpikir. Semua terpaku pada juklak dan juklis yang dijadikan pijakan dalam mengajar.
Kita membutuhkan generasi yang terampil berpikir kritis, cerdas, kreatif, inovatif untuk membangun bangsa dan negara ini. Kita telah menderita dijajah secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kita tidak dapat melawannya baik secara global maupun lokal karena kita tidak terampil berpikir lagi. Kita menjadi bodoh, tidak berdaya, dijadikan bulan-bulanan oleh bangsa asing. Tanah air ini terkenal sebagai alam yang berlimpah “susu dan madu”, tetapi masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan. Keadilan dan kesejahteraan hidup jauh dari harapan. Bencana alam bertubi-tubi menimpah kita. Dan sekarang kita diliputi masalah pemanasan global padahal kita kaya dengan hutan.
Mengapa terjadi kontradiksi? Dari pemerintah sampai rakyat belum terampil berpikir untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pemecahan yang ditawarkan pemerintah belum juga mengubah keadaan masyarakat. Semuanya ini karena pendidikan kita gagal menghasilkan manusia yang terampil berpikir, punya karakter yang tangguh dan berhati baja. Pendidikan hanya sekadar meraih ijazah bukan mengarah pada substansinya. Kita belum memberi ruang untuk melatih keterampilan berpikir kepada generasi muda. Oleh karena itu, pendidikan di rumah, sekolah dan masyarakat harus membuka ruang gerak untuk peserta didik atau generasi muda untuk melatih keterampilan berpikir sehingga mampu membangun bangsa dan negara ini tercinta ini.
Ketarampilan berpikir juga dapat disejajarkan dengan keterampilan bicara. Bila orang terampil bicara di depan publik dianggap terampil berpikir dan yang tidak pandai bicara artinya kurang terampil berpikir. Dan lebih parah lagi bahwa mata pelajaran yang diajarkan di sekolah bahkan di perguruan tinggi dapat diasumsikan sebagai sarana melatih keterampilan berpikir. Ternyata tidak benar anggapan itu. Berpikir bukan sekadar kebutuhan. Juga bukan hanya faktor bawaan, tingkat pendidikan, banyak bicara, dan mempelajari sejumlah mata pelajaran di sekolah atau kampus. Keterampilan berpikir harus dilatih seperti keterampilan bernyanyi, akting, bersepeda dll. Keterampilan berpikir dapat dilatih, dipelajari, dan didalami oleh siapa saja tanpa kenal usia. Edward de Bono menganjurkan agar anak sejak usia dini mulai dilatih keterampilan berpikir.
Pendidikan kita selama ini tidak mengarah pada latihan keterampilan berpikir kepada peserta didik. Pendidikan terlanjur identik dengan pengajaran serangkaian mata pelajaran di kelas. Hal yang sama juga di perguruan tinggi. Mahasiswa pun hanya dibekali untuk menguasai bahan-materi kuliah. Semuanya itu demi angka-angka (nilai rapor dan ijazah). Aneka cara memodifikasi strategi dan pembaruan sistem pembelajaran, bongkar pasang kurikulum dan sebagainya, tetapi tidak banyak berarti bagi perkembangan keterampilan berpikir. Dan lebih parah lagi pemerintah masih bersikukuh untuk melaksanakan ujian akhir nasional (UAN). Pergantian demi pergantian, perbaikan demi perbaikan, seolah tiada hentinya. Seperti motto suzuki “inovasi tiada henti”. Akan tetapi, semuanya itu tidak banyak berarti dan menjadi kontribusi dalam pendidikan untuk melatih keterampilan berpikir pada peserta didik.
Kita berharap ada perbaikan yang menjamin perubahan menuju masyarakat terdidik yang terampil berpikir. Praktisi pendidikan baik di tingkat yang paling atas sampai pada guru mata pelajaran harus memberi ruang gerak untuk melatih keterampilan berpikir kepada peserta didik. Akan tetapi, bagaimana mungkin itu dapat terjadi bila mereka sendiri tidak memahami dan mengerti tentang keterampilan berpikir? Dari dahulu pendidikan kita tidak mengajarkan dan melatih bagaimana peserta didik terampil berpikir. Kurikulum nasionalnya pun tidak menekankan bagaimana mencerdaskan diri, mengembangkan diri, dan mengkreasi diri untuk terampil berpikir. Semuanya sudah tertutup bagi peserta didik.
Kita terkondisi karena perintah dan kebijakan atasan. Akhirnya pendidikan hanya mencetak generasi seperti beo dan robot saja. Para pelajar dan mahasiswa kita hanya dapat berpikir secara terpimpin, yakni hanya sanggup menguasai atau menghafal bahan-bahan pelajaran, buku teks, kuliah, diktat tanpa ada kemampuan berpikir secara kritis yang mutlak dalam menuntut ilmu. Bahkan para guru dan dosennya pun tidak mampu lagi berpikir kritis, cerdas, kreatif, dan bijak untuk melatih siswa dan mahasiswanya terampil berpikir. Semua terpaku pada juklak dan juklis yang dijadikan pijakan dalam mengajar.
Kita membutuhkan generasi yang terampil berpikir kritis, cerdas, kreatif, inovatif untuk membangun bangsa dan negara ini. Kita telah menderita dijajah secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kita tidak dapat melawannya baik secara global maupun lokal karena kita tidak terampil berpikir lagi. Kita menjadi bodoh, tidak berdaya, dijadikan bulan-bulanan oleh bangsa asing. Tanah air ini terkenal sebagai alam yang berlimpah “susu dan madu”, tetapi masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan. Keadilan dan kesejahteraan hidup jauh dari harapan. Bencana alam bertubi-tubi menimpah kita. Dan sekarang kita diliputi masalah pemanasan global padahal kita kaya dengan hutan.
Mengapa terjadi kontradiksi? Dari pemerintah sampai rakyat belum terampil berpikir untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pemecahan yang ditawarkan pemerintah belum juga mengubah keadaan masyarakat. Semuanya ini karena pendidikan kita gagal menghasilkan manusia yang terampil berpikir, punya karakter yang tangguh dan berhati baja. Pendidikan hanya sekadar meraih ijazah bukan mengarah pada substansinya. Kita belum memberi ruang untuk melatih keterampilan berpikir kepada generasi muda. Oleh karena itu, pendidikan di rumah, sekolah dan masyarakat harus membuka ruang gerak untuk peserta didik atau generasi muda untuk melatih keterampilan berpikir sehingga mampu membangun bangsa dan negara ini tercinta ini.
0 Response to "BERPIKIR ADALAH KETERAMPILAN"
Post a Comment