PHK SEBAGAI FENOMENA YANG TIDAK DAPAT DIHINDARKAN

PENDAHULUAN

Bagi kaum buruh putusnya hubungan kerja berarti permulaan masa pangangguran dengan segala akibatnya. Sehingga untuk menjamin kepastian ketenteraman hidup buruh seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja. Tetapi pengalaman sehari-hari membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.
Masalah mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selalu menarik untuk dikaji dan ditelaah lebih mendalam. Tenaga Kerja selalu menjadi pihak yang lemah apabila dihadapkan pada Pemberi Kerja yang merupakan pihak yang memiliki kekuatan. Sebagai pihak yang selalu dianggap lemah, tak jarang para tenaga kerja selalu mengalami ketidakadilan apabila berhadapan dengan kepentingan perusahaan. Kasus-kasus tenaga kerja yang hangat dibicarakan antara lain adalah kasus PT. Dirgantara Indonesia (PT DI), Texmaco dan lain-lain.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) telah memiliki pengaturan tersendiri. namun Undang-undang nomor 12 tahun 1964, yang mengatur mengenai PHK tersebut juga memiliki beberapa kelemahan. Namun law inforcement yang terdapat di lapangan juga masih sangat rendah. Sehingga, infrastuktur penegakkan hukum tidak mampu untuk melaksanakan apa yang sudah diatur dalam UU nya.
Pada makalah kali ini kami akan mencoba membahas fenomena PHK –pengertian, bentuk-bentuk PHK, jumlah serta solusi korban dari PHK– yang belakangan marak terjadi di negeri kita tercinta. Dengan harapan kita bisa lebih memahami dan mengenal lebih jauh tentang masalah PHK.

PEMBAHASAN

PENGERTIAN PHK
Pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja adalah pemberhentian atau dikeluarkannya seorang karyawan atau pegawai dari lingkungan organisasi baik dari keputusan pribadi sendiri maupun secara paksa atas prakarsa perusahaan tempatnya bekerja. Pemberhentian sukarela biasanya berbentuk pengunduran diri, sedangkan yang secara paksa bentuknya seperti pemberhentian permanent alias dipecat.
Pemberhentian kerja dapat didorong oleh alasan disiplin, ekonomi atau alasan pribadi. Peranan SDM adalah mencari cara yang terbaik untuk melakukan pemutusan ini sehingga akibat buruk bagi individu dan perusahaan dapat diminimalisir.
Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang pada beberapa tahun yang lalu merupakan suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan yang masih aktif bekerja. Hal ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyak industri yang harus gulung tikar, dan tentu saja berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana sebelumnya. Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang bekerja pada waktu itu selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan dirinya diberhentikan dari perkerjaan yang menjadi penopang hidup keluarganya.
Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah PHK dapat memberikan beberapa pengertian, yaitu:
a. Termination: yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja yang telah disepakati.
b. Dismissal: yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan tindak pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan.
c. Redundancy: yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, dengan alat-alat berteknologi baru tersebut cukup dioprasikan dengan beberapa orang saja.
d. Retrenchment: yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah ekonomi, sehingga perusahaan tidak mampu lagi untuk memberikan upah kepada karyawannya.

BENTUK-BENTUK/KASUS PHK
1. Meninggalkan Pekerjaan Sementara (cuti). Meninggalkan pekerjaan sementara atau disebut juga cuti, karena karyawan terkadang membutuhkan waktu semntara untuk tidak bekerja. Alasannya mungkin karena kesehatan, masalah keluarga, pendidikan, rekreasi dan lain-lain. Ketika seorang karyawan melahirkan, merawat pasangan, anak atau orang tua yang sakit ataupun menderita penyakit parah yang menyebabkan karyawan tidak bekerja, karyawan mendapat hak untuk tidak bekerja oleh perusahaan.
2. Pengurangan. Pengurangan atau attrisi adalah pengurangan normal karena pengunduran diri, pensiun atau kematian. Pengunduran diri ini dilakukan dari pihak pekerja sendiri, bukan dari perusahaan. Walaupun attrisi merupakan cara lambat untuk mengurangi tenaga kerja, cara ini paling sedikit menimbulkan masalah. Di Indonesia usia pensiun bagi pegawai pemerintah khususnya, ditetapkan berdasarkan peraturan pemerintah RI No. 32, tahun 1979 ialah; 56 tahun sampai dengan 65 tahun.
3. Pemecatan (Pemutusan Hubungan Kerja). Pada umumnya PHK ini sangat dihindari oleh perusahaan, karena memiliki biaya yang cukup besar padajangk panjang untuk membayar pesangon, gaji dan sebagainya. Pesangon atau severance money adalah uang yang diberikan kepada karyawan yang derhentikan secara permanen. Banyak perusahaan yang memberikan pesangon hanya kepada karyawan yang berhenti secara terpaksa dan telahbekerja dengan baik. Misalnya, sebuah pabrik yang tutup dan pindah ke daerah lain akan memberikan pesangon kepada karyawan dengan ketentuan yang berlaku, tapi ini tidak berlaku bagi karyawan yang kinerjanya atau disiplinnya buruk.

Kasus Aturan Mengenai Karyawan yang Berjilbab dan Pesangon
Poppy adalah karyawati swasta di salah satu perusahaan swasta nasional. Dia bekerja di sana sejak tahun 2001. Setahun yang lalu, dia mengenakan jilbab. Sejak saat itu, dia sering mendengar rumor bahwa dia akan dipecat dari perusahaan. Pihak manajemen bahkan sempat bicara dengan suami dari teman Poppy ini untuk membicarakan masalah jilbab dan kemungkinan teman Poppy mau mengundurkan diri dari perusahaan.
Bahkan akhir-akhir ini, karena teman Poppy tetap tidak mengundurkan diri dan juga tetap memberi performance yang baik. Untuk perusahaan, perusahaan berusaha untuk mencoba membuat dia mengundurkan diri sehingga tidak perlu membayar pesangon.
Pertanyaan adalah:
1. Apakah ada undang-undang tenaga kerja khusus yang dapat melindungi hak Poppy untuk tetap bekerja pada perusahaan itu?
2. Apabila Poppy akhirnya dipecat, apa saja dan berapa kompensasi yang dapat dia peroleh?

Menurut UU no 13 tahun 2003 pasal 1 ayat C: “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.” Pemakaian jilbab bisa termasuk dalam kategori menjalankan ibadah, oleh karenanya perusahaan tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja.

Ada 2 alternatif yang dapat ditempuh dalam hal ini:
1. Poppy tetap bertahan bekerja di perusahaan tersebut. Laporkan kasus yang dialami kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Depnaker atau bisa juga ke lembaga bantuan hukum. Lembaga tersebut akan melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan dan melarang perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja. Selanjutnya tetap jaga performa dan patuhi peraturan perusahaan yang berlaku sehingga perusahaan tak ada alasan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja.
2. Dalam bekerja yang dicari tidak hanya penghasilan saja namun juga suasana kerja yang menyenangkan dan memungkinkan individu untuk berkembang. Bertahan bekerja di perusahaan tersebut bisa menyebabkan teman Anda tidak nyaman dan pada akhirnya bisa berdampak pada menurunya performa kerja. Jika teman Anda memutuskan untuk mundur dari kancah konflik ini.
3. Diskusikan & musyawarahkan masalah ini secara terbuka dengan perusahaan. Sampaikan bahwa menurut perundangan yang berlaku perusahaan dilarang melakukan PHK terhadap karyawan dengan alasan pemakaian jilbab. Tawarkan pada perusahaan untuk melakukan PHK dengan syarat Perusahaan memberikan:
- Uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),
- Uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu)kali ketentuan Pasal 156 ayat(3),
- Uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pemberian pesangon sebesar itu memang wajib dibayarkan perusahaan jika perusahaan tidak memiliki alasan jelas untuk melakukan PHK sehingga bisa dianalogikan dengan alasan pelaksanaan PHK adalah “perusahaan melakukan efisiensi” sesuai pasal 164 UU no.13 tahun 2003 (yang besaran pesangonnya sama dengan tersebut diatas)
Untuk masa kerja 6 tahun tapi kurang dari 7 tahun, Rincian kompensasi dengan memakai rumusan diatas, sbb:
- Uang pesangon: 2 X (7 bulan upah) = 14 bulan upah
- Uang penghargaan masa kerja : 1 x (3 bulan upah) = 3 bulan upah
- Uang penggantian hak terdiri dari:
- Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; Misal masih ada sisa cuti 6 hari, maka perhitungannya sbb : (6/30)X 1 bulan upah
- biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
- penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja = 15% X (14 bulan upah + 3 bulan upah)
- hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusanaan atau perjanjian kerja bersama.
Komponen upah yang dijadikan sebagai dasar penghitungan 1 bulan upah adalah gaji pokok + tunjangan tetap (tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, dll)

SOLUSI PENANGANAN KORBAN PHK
Hanya ada satu kasus PHK yang penyelesaiannya dibawa ke jalur hukum lewat Pengadilan Hubungan Industrial. Kasus perselisihan hubungan industrial (PHI) di Kabupaten Semarang jarang terjadi. Kasus PHI pada tahun 2004 tercatat sebanyak tiga kasus dengan jumlah tenaga kerja 1.254 orang, 2005 tiga kasus dengan jumlah tenaga kerja 1.931 orang, dan tahun 2006 sebanyak lima dengan jumlah tenaga kerja 428 orang. Paling banyak tahun 2007 ini terjadi enam kasus PHI serta bisa diselesaikan secara musyawarah.

Jangan Kurangi Hak Normatif Buruh
Nasib buruh kian merana. Proposisi itu bukan provokasi, tapi fakta yang sangat mudah diverifikasi. Contohnya, soal upah buruh, pada 1997, upah minimum buruh (di Surabaya) Rp 250 ribu, sementara gaji PNS terendah Rp 150 ribu. Itu berarti upah buruh hampir dua kali lipat gaji PNS. Pada 2007, yang terjadi sebaliknya, upah minimum buruh Rp 763 ribu, sedangkan gaji PNS golongan terendah sudah mencapai Rp 1,2 juta. Jadi, sekarang gaji PNS terendah hampir dua kali upah minimum buruh.
Belum lagi makna upah dari segi upah riil yang diterima buruh. Pada 1997, upah minimum buruh mampu digunakan membeli 350 kg beras (dengan harga beras Rp 700 per kg pada tahun itu), sedangkan upah minimum buruh 2007 hanya mampu membeli 150 kg beras (dengan harga beras Rp 5.000 per kg pada tahun ini). Hal itu bermakna bahwa upah riil buruh terjun bebas berkurang lebih dari 50 persen.
Penderitaan buruh tersebut belum seberapa dibandingkan penderitaan rekan-rekan mereka yang terkena PHK dan yang masih menganggur. Buruh yang terkena PHK mengalami dua penderitaan, penderitaan karena banyak pesangon buruh yang tidak diberikan oleh pengusaha sebagaimana mestinya serta penderitaan karena sangat sulit memperoleh pekerjaan baru.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Mennakertrans) Erman Suparno mengharapkan, jumlah pengangguran di Tanah Air pada 2007 hingga awal 2008 turun antara 1,2 juta sampai 1,5 juta orang. apat turunnya angka pengangguran itu diharapkan melalui kontribusi program aksi GNPP (Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran). Optimisme Mennakertrans melalui GNPP ini terkait fakta bahwa sebanyak 1,9 juta orang telah mendapatkan pelatihan, bantuan subsidi program, dan bantuan modal bergulir. "GNPP itu diharapkan bisa merekrut tenaga kerja yang banyak sambil tetap memperhatikan kondisi peningkatan kualitas," ujarnya.
Dalam melaksanakan pembangunan dan upaya perluasan kesempatan kerja, upaya juga harus diiringi dengan pembenahan sumberdaya manusia melalui balai latihan kerja (BLK) yang dimiliki pemerintah daerah. Usaha mengurangi pengangguran juga dapat dilakukan dengan menciptakan hubungan industrial yang harmonis, sehingga dapat meminimalisasi pemutusan hubungan kerja (PHK). "Jadi, harus tercipta hubungan yang harmonis antara pekerja dengan perusahaan. Ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan secara keseluruhan," ujarnya seraya menambahkan bahwa pemerintah mencanangkan tahun 2007 sebagai tahun hubungan industrial dan pengawasan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Binapeta) Depnakertrans Tjetje Al Ansori mengungkapkan, sebagai upaya menekan angka pengangguran, telah dilakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat di 33 provinsi dan 318 kabupaten/kota. Bentuk kegiatannya, antara lain menyelenggarakan program padat karya, tenaga kerja mandiri, wirausaha baru, terapan tegnologi tepat guna serta memberikan fasilitas dalam pelaksanaan GNPP.

Program padat karya
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) membuat program pembangunan proyek-proyek padat karya dengan aksi gerakan nasional penanggulangan pengangguran. Program proyek senilai sekitar Rp 12,6 miliar itu dilakukan di 63 lokasi proyek pada 20 provinsi dan 57 kabupaten/kota.
Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Depnakertrans Myra Maria Hanartani di Jakarta mengatakan, program aksi itu menggunakan dana APBN 2005. Program itu dilakukan di 20 provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Papua.
Sebagai contoh, di sektor perkebunan, program dikaitkan dengan pemanfaatan lahan tidur. Dengan demikian, lahan tidur dapat dimanfaatkan untuk tanaman seperti jagung atau kacang-kacangan. Di sektor industri kami memfokuskan pada kegiatan usaha mandiri yang didasarkan potensi ekonomi, seperti pemanfaatan kelapa. Jadi tenaga kerja yang dapat diserap sebanyak 15.000 orang. Anggaran untuk setiap program atau proyek mencapai Rp 200 juta-Rp 250 juta.

JUMLAH KORBAN PHK
Jumlah kasus pemutusan hubungan kerja di Indonesia pada 2006 meningkat 50,2 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pemerintah akan mendorong penyelesaian konflik antara perusahaan dan pekerja ke arah penyelesaian bipartit. Namun, jumlah karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) turun hingga 65,3 persen dari 109.382 orang pada tahun 2005 menjadi 37.937 orang di tahun 2006. Angka-angka inii didapat dari laporan yang diterima Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Kasus PHK yang terjadi tahun 2006 merupakan tertinggi selama empat tahun terakhir. Tahun 2003, kasus PHK sejumlah 3.769 dan 3.515 kasus pada tahun 2004. Namun, pekerja yang terkena PHK terus menurun, yakni 133.992 orang di tahun 2003 dan 101.698 di tahun 2004. PHK itu hanya yang terdata di Disnakertrans. Kemungkinan jumlah karyawan yang di-PHK lebih banyak karena kasusnya yang tidak dilaporkan pihak perusahaan kepada Disnakertrans setelah dapat diselesaikan di tingkat perusahaan,
Penyebab meningkatnya kasus PHK antara lain karena kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM membuat sejumlah perusahaan kecil menengah gulung tikar. Faktor lain, karena keterbatasan bahan baku, seperti perusahaan furniture. Selain itu jika dikarenakan kesulitan pihak perusahaan memperoleh pinjaman bank. Tapi ada juga karena pihak perusahaan melakukan efisiensi pengurangan tenaga kerja.
Dari data yang dikeluarkan oleh kepaniteraan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) Pusat Departemen Tenaga kerja, angka PHK semakin meningkat sejak tahun 2000. Pada tahun itu angka pemutusan hubungan kerja itu adalah 2.124 kasus. Tahun berikutnya menjadi 2.312 kasus. Pada tahun 2002,jumlah terus meningkat menjadi 2.663 kasus. Sedangkan pada tahun 2003 ini, dalam bulan Januari saja sudah tercatat angka pemutusan hubungan kerja sebesar 809 kasus, yaang berarti sebesar tiga puluh persen dari total kasus pemutusan hubungan kerja 2002
PENUTUP

Refleksi
Di Bandung, mantan pekerja PT Dirgantara Indonesia yang di-PHK beberapa tahun lalu hanya mampu bekerja sebagai penjual es krim asongan, bahkan menjadi pemulung sampah. Padahal, dia lulusan sarjana nuklir dari universitas negeri terkemuka di republik ini (Kompas, 28/4/07). Sungguh tragis nasib buruh/pekerja di negeri ini.
Jika upaya pemerintah menderegulasi bidang perburuhan tersebut berhasil, nasib buruh akan menjadi lebih buruk pada tahun-tahun mendatang. Republik yang katanya kaya raya dengan berbagai sumber kekayaan alam ini menjadi kuburan bagi warganya karena kelaparan tidak mampu makan akibat menganggur serta akibat bekerja, tapi dibayar tidak manusiawi.
Buruh yang mampu menghidupi keluarganya karena perusahaan telah mampu memberikan upah yang layak juga ikut terkubur akibat pabrik tempat kerjanya terendam banjir lumpur. Sungguh sebuah balada dari negeri yang salah urus.

Kesimpulan
Pokok-pokok pikiran yang diwujudkan dalam Undang-undang ini garis besarnya adalah sebagai berikut :
• Pokok pangkal yang harus dipegang teguh dalam menghadapi masalah pemutusan hubungan kerja ialah bahwa sedapat mungkin pemutusan hubungan kerja harus dicegaah dengan segala daya upaya bahkan dalam beberapa hak dilarang.
• Karena pemecahan yang dihasilkan oleh perundingan antara pihak-pihak yang berselisih sering kali lebih dapat diterima oleh yang bersangkutan daripada penyelesaian yang dipaksakan oleh pemerintah, maka dalam sistem Undang-undang ini, penempuhan jalan perundingan kewajiban, setelah daya dan upaya tersebut pada 1 tidak memberikan hasil.
• Bila jalan perundingan tidak berhasil menekatkan kedua belah pihak, haruslah Pemerintah tampil kemuka dan campur tangan dalam pemutusan hubungan kerja yang hendak dilakukan oleh Pengusaha. Bentuk campur tangan ini adalah pengawasan prepentif, yaitu untuk tiap-tipa pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha diperlukan izin dari instansi Pemerintah.
• Berdasarkan penglaman dalam menghadapi masalah pemutusan hubungaan kerja maka sudah sepatutlah bila pengawasan prepentif ini disserahkan kepada Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat.
• Dalam Undang-undang ini diadakan ketentuan-ketentuan yang bersifat formil tentang cara memohon izin, meminta banding terhadap penolakan banding terhadap permohonan izin dan seterusnya.
• Disamping itu perlu dijelaskan bahwa bilamana terjadi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran sebagai akibat tidakan pemerintah, maka pemerintah akan berusaha untuk meringankan beban kaum buruh itu dan akan diusahakan penyaluran mereka pada perusahaaan/proyek yang lain.
• Demikian juga pemutusan hubungan kerja karena moderisasi, otomatisasi, effisiensi dan rasionalisasi yang disetujui oleh pemerintah mendapat perhatian pemerintah sepenuhnya dengan jalan mengusahakan secara aktif penyaluran buruh-buruh itu ke perusahaan/proyek lain.

DAFTAR PUSTAKA

Haryanto F..R – www.inparametric.com
Kumara, A. Utami, M.S., Rosyid, H.F., 2003. Strategi Mengoptimalkan Diri Menjelang Pensiun. Makalah: Pembekalan Purna Tugas PNS Kabupaten Purworejo. Juli 2003 (tidak diterbitkan)
Manulang, S.H. 1998. Pokok-Pokok Hukum Ketenagkerjaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

0 Response to "PHK SEBAGAI FENOMENA YANG TIDAK DAPAT DIHINDARKAN"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel