Penghapusan IPA dan IPS Bukan Solusi untuk Kurikulum yang Penuh Sesak
Tak perlu menjadi seorang ahli pendidikan untuk melihat bahwa kurikulum sekolah dasar dan menengah di Indonesia terlalu padat. Cukup tanyakan saja pada orangtua yang memiliki anak usia sekolah, betapa sulit dan stresnya berusaha membantu anak memelajari materi untuk pekerjaan rumah, lembar kerja harian dan berbagai tes yang ada. Informasi yang musti dipelajari oleh siswa sedemikian banyak, sampai-sampai punggung mereka tertekuk oleh beratnya buku pelajaran yang harus dibawa dalam ransel.
Kurikulum yang terlampau luas namun dangkal membawa berbagai dampak negatif. Singkat kata, masalahnya adalah bahwa dengan volume informasi yang demikian besar, siswa tidak memiliki waktu yang cukup untuk benar-benar mencernanya (setali tiga uang, guru juga tidak punya waktu untuk mengajar dengan baik). Simpulan ini bisa dideduksi dari temuan mendasar penelitian ilmiah mengenai proses belajar manusia: bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, siswa perlu berlatih menggunakan berbagai konsep dalam konteks menyelesaikan problem yang beragam. Proses ini tentu membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Masalah ini tampaknya sudah diketahui juga oleh Departemen Pendidikan. Baru-baru ini kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan menyatakan bahwa kurikulum sekolah dasar perlu dirampingkan. Sayang seribu sayang, solusi yang ditawarkan adalah dengan menghapus pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) and sosial (IPS). Semangat dari perombankan radikal ini, menurut sang kepala Litbang, adalah agar sekolah dasar bisa fokus mengembangkan siswa yang disiplin, jujur, dan bersih.
Saya bukannya tak senang dengan disiplin, kejujuran, dan kebersihan – ketiganya merupakan sifat-sifat baik yang masih sangat perlu dikembangkan di masyarakat kita. Namun pembentukan sifat-sifat tersebut pada generasi muda adalah tugas masyarakat secara keseluruhan – bukan hanya sekolah dan guru, tapi juga pemimpin dan politisi, pelaku-pelaku budaya, media massa, dan tentu saja orangtua dan keluarga. Menjadikan pengembangan karakter generasi muda sebagai tugas utama sekolah adalah sebuah kekeliruan, terutama jika konsekuensinya adalah membuang pelajaran IPA dan IPS. Peran unik sekolah sebagai institusi sosial adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir secara ilmiah dan akademik. Tidak ada institusi sosial lain yang bisa mengemban fungsi ini, dan penghapusan IPA dan IPS justru menciderai fungsi unik tersebut.
Memang benar bahwa pengajaran IPA dan IPS saat ini jauh dari ideal. Seperti saya tulis di atas, kurikulum yang penuh sesak tidak memungkinkan siswa untuk belajar secara mendalam. Pelajaran IPA dan IPS kerap menampilkan ilmu pengetahuan sebagai “fakta-fakta” beku yang sekedar dihafalkan untuk dimuntahkan kembali saat ujian. Ilmu-ilmu alam dan sosial disampaikan sebagai doktrin, dan siswa kehilangan kesempatan untuk memelajari ilmu sebagai cara berpikir. Pelajaran IPA dan IPS tidak mengajarkan siswa untuk mengobservasi secara sistematis, menggunakan konsep abstrak untuk berpikir dan menganalisis dunia.
Pengajaran IPA yang buruk ini tercermin di hasil asesmen internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA). PISA adalah tes terstandar yang mengukur kemampuan siswa usia 15 tahun di 70 negara dalam hal kemampuan membaca, matematika, dan ilmu alam. Hasil PISA tahun 2006 menunjukkan bahwa lebih dari 60% siswa Indonesia tergolong tidak melek ilmu alam – mereka tidak memiliki kemampuan yang paling dasar sekali pun dalam mengidentifikasi masalah ilmiah, menjelaskan fenomena ilmiah, dan menggunakan bukti-bukti ilmiah. Lebih menyedihkan lagi, di tahun 2009 angka ketidakmelekan ilmiah ini justru meningkat.
Tapi solusi dari masalah ini jelas bukan menghapus IPA dan IPS dari kurikulum SD. Hal ini menunjukkan penghargaan pemerintah yang rendah terhadap ilmu-ilmu alam dan sosial, serta justru akan semakin memperburuk kemampuan siswa dalam berpikir ilmiah. Respon yang lebih masuk akal adalah memulai diskusi serius tentang merampingkan cakupan topik IPA dan IPS, serta bagaimana meningkatkan kemampuan guru dalam merancang dan mengajarkan pelajaran-pelajaran ini.
Departemen Pendidikan tampaknya berasumsi bahwa pengajaran IPA dan IPS bertentangan dengan pengembangan karakter siswa. Ini salah kaprah yang tidak perlu terjadi bila ilmu alam dan sosial dipahami secara lebih holistik. Praktik keilmuan mencakup sifat-sifat mulia seperti kejujuran, kerendah-hatian, dan keberanian. Ilmuwan dituntut untuk jujur dalam mencatat dan melaporkan hasil penelitian – kredibilitas ilmu sebagai institusi sosial bergantung pada hal ini. Ilmuwan juga perlu rendah hati ketika ternyata prediksi-prediksi yang mereka yakini ternyata tidak didukung oleh data. Ilmuwan musti berani, terutama saat temuan mereka bertentangan dengan keyakinan dasar masyarakat – seperti ketika Copernicus menyatakan bahwa bumi bukanlah pusat dari alam raya.
Sebagai penutup, penghapusan IPA dan IPS adalah contoh kebijakan yang tidak bijak. Tentu, penilaian ini adalah jika kita masih berharap menjadi bangsa yang suatu saat maju dalam hal ilmu dan teknologi.
Kurikulum yang terlampau luas namun dangkal membawa berbagai dampak negatif. Singkat kata, masalahnya adalah bahwa dengan volume informasi yang demikian besar, siswa tidak memiliki waktu yang cukup untuk benar-benar mencernanya (setali tiga uang, guru juga tidak punya waktu untuk mengajar dengan baik). Simpulan ini bisa dideduksi dari temuan mendasar penelitian ilmiah mengenai proses belajar manusia: bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, siswa perlu berlatih menggunakan berbagai konsep dalam konteks menyelesaikan problem yang beragam. Proses ini tentu membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Masalah ini tampaknya sudah diketahui juga oleh Departemen Pendidikan. Baru-baru ini kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan menyatakan bahwa kurikulum sekolah dasar perlu dirampingkan. Sayang seribu sayang, solusi yang ditawarkan adalah dengan menghapus pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) and sosial (IPS). Semangat dari perombankan radikal ini, menurut sang kepala Litbang, adalah agar sekolah dasar bisa fokus mengembangkan siswa yang disiplin, jujur, dan bersih.
Saya bukannya tak senang dengan disiplin, kejujuran, dan kebersihan – ketiganya merupakan sifat-sifat baik yang masih sangat perlu dikembangkan di masyarakat kita. Namun pembentukan sifat-sifat tersebut pada generasi muda adalah tugas masyarakat secara keseluruhan – bukan hanya sekolah dan guru, tapi juga pemimpin dan politisi, pelaku-pelaku budaya, media massa, dan tentu saja orangtua dan keluarga. Menjadikan pengembangan karakter generasi muda sebagai tugas utama sekolah adalah sebuah kekeliruan, terutama jika konsekuensinya adalah membuang pelajaran IPA dan IPS. Peran unik sekolah sebagai institusi sosial adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir secara ilmiah dan akademik. Tidak ada institusi sosial lain yang bisa mengemban fungsi ini, dan penghapusan IPA dan IPS justru menciderai fungsi unik tersebut.
Memang benar bahwa pengajaran IPA dan IPS saat ini jauh dari ideal. Seperti saya tulis di atas, kurikulum yang penuh sesak tidak memungkinkan siswa untuk belajar secara mendalam. Pelajaran IPA dan IPS kerap menampilkan ilmu pengetahuan sebagai “fakta-fakta” beku yang sekedar dihafalkan untuk dimuntahkan kembali saat ujian. Ilmu-ilmu alam dan sosial disampaikan sebagai doktrin, dan siswa kehilangan kesempatan untuk memelajari ilmu sebagai cara berpikir. Pelajaran IPA dan IPS tidak mengajarkan siswa untuk mengobservasi secara sistematis, menggunakan konsep abstrak untuk berpikir dan menganalisis dunia.
Pengajaran IPA yang buruk ini tercermin di hasil asesmen internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA). PISA adalah tes terstandar yang mengukur kemampuan siswa usia 15 tahun di 70 negara dalam hal kemampuan membaca, matematika, dan ilmu alam. Hasil PISA tahun 2006 menunjukkan bahwa lebih dari 60% siswa Indonesia tergolong tidak melek ilmu alam – mereka tidak memiliki kemampuan yang paling dasar sekali pun dalam mengidentifikasi masalah ilmiah, menjelaskan fenomena ilmiah, dan menggunakan bukti-bukti ilmiah. Lebih menyedihkan lagi, di tahun 2009 angka ketidakmelekan ilmiah ini justru meningkat.
Tapi solusi dari masalah ini jelas bukan menghapus IPA dan IPS dari kurikulum SD. Hal ini menunjukkan penghargaan pemerintah yang rendah terhadap ilmu-ilmu alam dan sosial, serta justru akan semakin memperburuk kemampuan siswa dalam berpikir ilmiah. Respon yang lebih masuk akal adalah memulai diskusi serius tentang merampingkan cakupan topik IPA dan IPS, serta bagaimana meningkatkan kemampuan guru dalam merancang dan mengajarkan pelajaran-pelajaran ini.
Departemen Pendidikan tampaknya berasumsi bahwa pengajaran IPA dan IPS bertentangan dengan pengembangan karakter siswa. Ini salah kaprah yang tidak perlu terjadi bila ilmu alam dan sosial dipahami secara lebih holistik. Praktik keilmuan mencakup sifat-sifat mulia seperti kejujuran, kerendah-hatian, dan keberanian. Ilmuwan dituntut untuk jujur dalam mencatat dan melaporkan hasil penelitian – kredibilitas ilmu sebagai institusi sosial bergantung pada hal ini. Ilmuwan juga perlu rendah hati ketika ternyata prediksi-prediksi yang mereka yakini ternyata tidak didukung oleh data. Ilmuwan musti berani, terutama saat temuan mereka bertentangan dengan keyakinan dasar masyarakat – seperti ketika Copernicus menyatakan bahwa bumi bukanlah pusat dari alam raya.
Sebagai penutup, penghapusan IPA dan IPS adalah contoh kebijakan yang tidak bijak. Tentu, penilaian ini adalah jika kita masih berharap menjadi bangsa yang suatu saat maju dalam hal ilmu dan teknologi.
0 Response to "Penghapusan IPA dan IPS Bukan Solusi untuk Kurikulum yang Penuh Sesak"
Post a Comment