4. PENGARUH PENDIDIKAN APARATUR PERENCANA DAN SISTEM INFORMASI TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada hakekatnya pembangunan adalah suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Pentingnya pembangunan daerah, karena pada dasarnya pembangunan daerah merupakan suatu proses untuk meratakan pembangunan dan hasil-hasilnya ke seluruh penjuru tanah air.
Perencanaan pembangunan daerah merupakan kegiatan
yang tidak mudah karena akan berhadapan dengan berbagai permasalahan yang sangat kompleks dan komprehensif (meliputi berbagai aspek sosial kemasyarakatan) dari suatu keadaan yang ada di wilayah terkait. Kegiatan perencanaan pembangunan daerah tidak bisa dilakukan secara individual, melainkan harus dilaksanakan secara tim (tim work), baik dalam arti kerjasama tim antar anggota perencana maupun kerjasama dalam arti institusional. Dalam konteks perencanaan pembangunan daerah, perlu adanya suatu lembaga yang secara khusus mengemban fungsi untuk merencanakan dan mengkoordinasikan pembangunan di daerah.
yang tidak mudah karena akan berhadapan dengan berbagai permasalahan yang sangat kompleks dan komprehensif (meliputi berbagai aspek sosial kemasyarakatan) dari suatu keadaan yang ada di wilayah terkait. Kegiatan perencanaan pembangunan daerah tidak bisa dilakukan secara individual, melainkan harus dilaksanakan secara tim (tim work), baik dalam arti kerjasama tim antar anggota perencana maupun kerjasama dalam arti institusional. Dalam konteks perencanaan pembangunan daerah, perlu adanya suatu lembaga yang secara khusus mengemban fungsi untuk merencanakan dan mengkoordinasikan pembangunan di daerah.
Pada awal Pelita I dilaksanakan dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1964 dengan dibentuknya Lembaga Pelaksanaan Pembangunan Daerah yang disebut dengan Badan Koordinasi Pembangunan Daerah (Bakopda) untuk daerah tingkat propinsi, namun dalam pelaksanaannya tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan Bakopda yang ada di daerah tidak mampu melaksanakan koordinasi pembangunan sehingga berjalan tersendat-sendat.
Memasuki Pelita II, Pemerintah berusaha menciptakan suatu sistem administrasi pemerintahan yang efektif dan efisien dan salah satunya adalah penyempurnaan dan perbaikan organisasi perencana dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1974 tentang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Sebagai tindak lanjut operasionalnya, maka dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1974 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Bappeda.
Melihat perubahan dunia yang semakin transparan dan global, maka pemerintah merasa perlu mengadakan peninjauan dan pengkajian kembali terhadap Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1974 tersebut. Mengingat hal ini, maka dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1980 tentang pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang merupakan satu-satunya badan yang bertugas menyusun rencana pembangunan daerah, mengkoordinasikan kegiatan pembangunan dan melakukan monitoring kegiatan pembangunan di daerah.
Sebagai implementasi dari Keppres tersebut, maka dikeluarkanlah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 185 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Bappeda Tingkat I dan Tingkat II yang sekaligus menyatakan tidak berlakunya Peraturan Perundangan yang terdahulu yang menyangkut Keppres Nomor 15 Tahun 1974 dan ketentuan lain tentang Bappeda.
Secara rinci fungsi Bappeda Tingkat II diatur dalam Keppres Nomor 15 Tahun 1974, Keppres Nomor 27 Tahun 1980 dan Kepmendagri Nomor 185 Tahun 1980 serta Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I maupun Surat Keputusan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
Mengingat tugas yang harus diemban Bappeda merupakan fungsi-fungsi yang sangat penting dalam pembangunan maka berhasil tidaknya pelaksanaan pembangunan di daerah terutama dalam memasuki otonomi daerah ditentukan oleh efektivitas Bappeda dalam menjalankan fungsi tersebut.
Sejak otonomi daerah diberlakukan, kebutuhan akan data dan informasi yang akurat, mutakhir, dan dapat diperoleh secara cepat makin dirasakan. Pemerintah pusat selalu membutuhkan data dan informasi dari daerah untuk menentukan besaran dana perimbangan (DAU, DAK, Bagi Hasil). Sebaliknya, pemerintah daerah memerlukan data untuk membantu pemda menyelenggarakan pemerintahan daerah. Dan diharapkan daerah dapat menyusun pangkalan data (database) yang berkualitas baik, lengkap, dan terstruktur. Dengan demikian maka daerah dapat dengan mudah dan cepat melihat peluang investasi dan potensi daerahnya untuk meningkatkan perekonomiannya, yang pada akhirnya akan memberdayakan daerah di era otonomi ini untuk menuju e-governmentdi Indonesia.
Sistem informasi telah berkembang seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat dan terbukti sangat berperan dalam kegiatan perekonomian dan strategi penyelenggaraan pembangunan. Keberadaan sistem informasi mendukung kinerja peningkatan efisiensi, efektivitas dan produktivitas organisasi pemerintah dan dunia usaha, serta mendorong pewujudan masyarakat yang maju dan sejahtera. Sistem informasi yang dibutuhkan, dimanfaatkan, dan dikembangkan bagi keperluan pembangunan daerah adalah sistem informasi yang terutama diarahkan untuk menunjang perencanaan pembangunan daerah. Hal ini perlu diingat karena telah terjadi perubahan paradigma menuju desentralisasi di berbagai aspek pembangunan.
Salah satu paradigma baru itu adalah perihal perencanaan pembangunan daerah. Mulai tahun 2001, seiring dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, maka perencanaan pembangunan daerah telah diserahkan kepada pemerintah daerah. Dan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang bertujuan untuk mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Dengan demikian, kiat di balik desentralisasi adalah peningkatan pelayanan kepada masyarakat, partisipasi dalam perencanaan pembangunan, dan pencapaian akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.
Telah banyak dikembangkan sistem informasi yang berbasis data perencanaan pembangunan, yang beroperasi baik di pusat maupun di daerah. Pada umumnya sistem informasi yang telah dikembangkan itu hanya menyangkut aspek tertentu dalam perencanaan pembangunan. Misalnya, Sistem Informasi Manajemen Departemen Dalam Negeri (Simdagri) dan SIM Daerah (Simda), yang penerapan pengelolaannya di daerah dilakukan oleh Kantor Pengolahan Data Elektronik (KPDE) di daerah. Contoh lain adalah yang berkaitan dengan aspek ruang, yaitu Sistem Informasi Geografis (SIG), yang dikembangkan melalui proyek berbantuan luar negeri Land Resources Evaluation and Planning (LREP) dan Marine Resources Evaluation and Planning (MREP); atau sistem informasi yang menyangkut aspek lingkungan, seperti Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup Daerah (NKLD) serta Neraca Sumber Daya Alam dan Spasial Daerah (NSASD) di setiap daerah.
Sebagai salah satu sistem informasi, Sistem Informasi dan Manajemen Perencanaan Pembangunan Daerah (Simreda) diharapkan dapat menata berbagai aspek data perencanaan pembangunan itu secara komprehensif dan sebagai acuan tunggal bagi para perencana pembangunan, baik di pusat maupun daerah untuk :
1. Memahami jenis-jenis data yang dibutuhkan perencanaan pembangunan serta memahami beberapa perangkat analisis yang dapat dimanfaatkan untuk menyusun rencana pembangunan.
2. Mengisikan data, sebagai wujud komitmen membangun sistem informasi perencanaan pembangunan yang komprehensif secara nasional.
3. Memanfaatkannya sebagai masukan (input) kebijakan, baik perencanaan, implementasi, pemantauan, maupun pengendaliannya (controlling).
Sejalan dengan itu, kendala-kendala yang dihadapi Bappeda dalam proses penyusunan rencana tahunan daerah dapat dikatakan relatif sama. Walapun ada variasi hal itu dipahami karena kondisi daerah yang tentunya berbeda peluang dan tantangannya. Kekurangan efektivitas Bappeda tersebut diduga disebabkan oleh kurangnya profesionalisme aparatur, kurangnya prasarana dan sarana, struktur dan prosedur kerja serta sistem informasi.
Kekurangan tenaga perencana di daerah juga menjadi masalah karena kualitas perencanaan pembangunan daerah sangat tergantung pada kemampuan, keahlian dan keluwesan para perencananya disamping teknik dan metode yang digunakan. Selain itu, faktor sistem informasi yang kurang memadai untuk rujukan dalam perencanaan pembangunan daerah akan sulit untuk merumuskan tujuan yang hendak dicapai. Karena tersedianya data yang up to date akan membantu para perencana pembangunan daerah dalam pengambilan keputusan.
Kekurangan efektivitas Bappeda juga dialami pada Bappeda Kabupaten Ngawi, dalam arti bahwa proses perencanaan pembangunan daerah yang bertujuan mengoptimalkan potensi sekaligus mengurangi ketimpangan pembangunan di daerah masih jauh dari harapan karena munculnya berbagai kendala seperti kurang konsistennya perencanaan pada daerah tingkat atas maupun daerah sendiri.
Berdasarkan pengalaman empiris selama ini di lapangan serta hasil pengamatan penulis secara langsung, kurang efektivitas Bappeda Kabupaten Ngawi dalam menyusun rencana pembangunan daerah disebabkan setiap perencanaan menghadapi kurangnya kemampuan aparatur perencana yang berkualitas, sarana dan prasarana serta sistem informasi yang kurang terbuka. Kondisi pegawai pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Ngawi dilihat dari tingkat pendidikan formalnya, sebagian besar (63 orang) terdiri dari: S2 sebanyak 4 orang dan S1 sebanyak 40 orang, sedangkan yang berpendidikan D3 sebanyak 2 orang, SLTA sebanyak 13 orang, SLTP sebanyak 3 orang dan SD sebanyak 1 orang. Yang telah mengikuti diklat struktural SPAMEN sebanyak 1 orang, diklat SPAMA sebanyak 4 orang dan diklat ADUMLA/ADUM sebanyak 24 orang. Sedangkan diklat teknis fungsional TMPP dasar sebanyak 5 orang, TMPP Lanjutan sebanyak 2 orang, Renstra sebanyak 2 orang, dan diklat Tata Ruang sebanyak 1 orang. Dalam proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang dulunya disebut Pola Dasar (Poldas) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang dulunya disebut Rencana Strategis (Renstra) yang secara tegas merupakan produk asli Bappeda, karena kekurangan tenaga perencanaan menyebabkan lebih banyak dilimpahkan kepada Perguruan Tinggi, Bappeda lebih banyak sebagai koordinator dan penyandang dana. Hal itu mengindikasikan bahwa Bappeda masih belum aktif melaksanakan fungsi perencanaan sebagai salah satu tugas pokoknya.
Di dalam penyusunan rencana kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh Bappeda Kabupaten Ngawi masih terjadi keterlambatan dan kesalahan-kesalahan didalam perencanaan pembangunan daerah, dimana ada beberapa dokumen rencana kegiatan terjadi kesalahan dan harus diadakan perubahan sehingga mengalami keterlambatan dalam kegiatannya sehingga berpengaruh terhadap kegiatan serta kualitas pembangunan daerah. Dalam perencanaan, seringkali fokus pembangunan tidak melihat sektor apa yang perlu dibangun, akan tetapi banyak rencana pembangunan yang masih sama dengan tahun lalu dan sebenarnya tidak perlu untuk dilaksanakan. Misalnya pembuatan infrastruktur yang salah sasaran. Hal ini karena data dan informasi yang digunakan masih menggunakan data dan informasi tahun sebelumnya. Selain itu ada data dan informasi yang dihasilkan dari kegiatan penelitian yang dilakukan instansi teknis dalam tiap tahun anggaran di bidang ekonomi, sosial budaya dan fisik. Tetapi Bappeda tidak memasukan hasil-hasil penelitian tersebut sebagai masukan penetapan kebijakan di bidang perencanaan.
Disamping itu dalam pembahasan usulan kegiatan pembangunan dari kecamatan dan instansi teknis di daerah dalam forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kabupaten/Kota tidak dikaji dan diseleksi dengan menggunakan kriteria-kriteria yang jelas. Sebab usulan kegiatan dari instansi teknis, banyak yang tidak dilengkapi dengan data pendukung yang jelas seperti hasil studi kelayakan, kerangka logis, analisis pohon masalah dan perkiraan biaya. Sasaran kegiatan yang diusulkan kurang memperhatikan masalah dan kebutuhan masyarakat serta tidak konsisten terhadap arahan sasaran dan tujuan pembangunan yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan yang harus diwujudkan.
Dalam hal ini seharusnya Bappeda tidak hanya bertindak sebagai “penampung” berbagai usulan/rencana dari institusi teknis lainnya, melainkan harus mampu bertindak sebagai “motor” pengerak yang dapat mengakomodir, menganalisis, menjabarkan berbagai permasalahan dan kepentingan yang berbeda menuju suatu konsesus bersama dalam wujud rumusan hasil perencanaan pembangunan daerah. Manfred Poppe dalam Riyadi (2004 : 12) mengemukakan bahwa untuk merancang dan menciptakan proses perencanaan yang partisipatif di tingkat daerah, perencanaan daerah harus mencapai pemahaman tentang kerangka organisasi perencana dimana perencanaan pembangunan akan dilaksanakan.
Pemahaman tentang kerangka organisasi itu sendiri, dapat diartikan sebagai pemahaman terhadap peran dan fungsi institusi, peran dan fungsi perencana, kemampuan sumber daya perencana, lingkungan yang dapat mempengaruhi organisasi, termasuk juga masalah sistem yang berlaku di dalam organisasi perencana tersebut.
Dari gambaran diatas, maka dalam penelitian ini akan mencoba mengkaji mengenai pengaruh pendidikan aparatur perencana dan sistem informasi terhadap efektivitas organisasi perencanaan pembangunan daerah yang ada di Kabupaten Ngawi.
1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah
Organisasi perencanaan pembangunan daerah dibentuk dengan tujuan yang pokok yaitu menyusun rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan tahunan. Karena itu sangat diperlukan kemampuan atau keahlian dari aparatur perencana pembangunan daerah dalam mengelola organisasi tersebut.
Demikian juga halnya dengan proses perencanaan pembangunan daerah, perencana selaku SDM perencanaan merupakan faktor utama yang menggerakkan pelaksanaan perencanaan. Dengan cukup tersedianya tenaga perencana pembangunan daerah akan sangat mendukung terhadap perencanaan pembangunan daerah. Akan tetapi yang menjadi sorotan adalah apakah tenaga perencana ini cukup tersedia di daerah ?
Kekurangan tenaga perencana di daerah menjadi problema karena perencanaan pembangunan mensyaratkan pengetahuan yang mendalam tentang proses pembuatannya, juga dibutuhkan wawasan yang tidak terbatas pada teori saja melainkan persepsinya harus menjangkau berbagai kenyataan yang ada di lapangan. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Riyadi (2004 : 25) bahwa setiap perencana pembangunan daerah dituntut untuk memiliki pengetahuan dan wawasan luas yang jauh ke depan serta harus memiliki kemampuan yang bersifat multidisipliner dan intersektoral.
Memang tidak dapat disanggah bahwa pengetahuan yang sifatnya teoritikal sangat penting, sebab dengan pengetahuan ini, kemampuan penalaran yang bersangkutan dianggap telah berkembang sedemikian rupa sehingga berbagai kemampuan intelektualnya dapat dituangkan secara jelas, dan rumusan rencana yang jelas pula. Akan tetapi dalam profesionalisme dibutuhkan pengalaman operasionalisme sehingga para perencana tersebut dapat memadukan teori dan kenyataan.
Faktor kedua yang mempengaruhi terhadap keberhasilan organisasi perencanaan pembangunan daerah di dalam perencanaan pembangunan daerahnya adalah faktor sistem informasi. Tanpa tersedianya bahan yang menjadi rujukan untuk perencanaan pembangunan akan sulit bagi organisasi untuk merumuskan tujuan yang hendak dicapai yang tertuang dalam rencana.
Dari latar belakang permasalahan dan identifikasi permasalahan diatas, dapatlah disusun rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana gambaran pendidikan aparatur perencana pembangunan daerah di Kabupaten Ngawi ?
2. Bagaimana gambaran sistem informasi dalam perencanaan pembangunan daerah di Kabupaten Ngawi ?
3. Sejauhmana pengaruh pendidikan aparatur perencana pembangunan daerah dan sistem informasi secara simultan maupun parsial terhadap efektivitas organisasi perencanaan pembangunan daerah ?
4. Variabel manakah diantara variabel pendidikan aparatur perencana
pembangunan daerah dan sistem informasi yang mempunyai kontribusi dominan terhadap efektivitas organisasi perencanaan pembangunan daerah?
1.3 Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan pendidikan aparatur perencana pembangunan daerah dan sistem informasi di Kabupaten Ngawi.
2. Untuk menguji pengaruh secara simultan maupun parsial antara pendidikan aparatur perencana pembangunan daerah dan sistem informasi terhadap efektivitas organisasi perencanaan pembangunan daerah.
3. Untuk menjelaskan faktor yang berpengaruh dominan terhadap efektivitas organisasi perencanaan pembangunan daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat :
1. Dapat diketahui cara-cara yang harus dilakukan Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan efektivitas organisasi perencanaan pembangunan daerah, khususnya di Kabupaten Ngawi di masa mendatang.
2. Dapat digunakan sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan perencanaan pembangunan daerah khususnya.
Anda bisa dapatkan Judul Skripsi Lengkap dengan pembahasanya. Anda bisa mendownload filenya lengkap dengan isinya dengan cara mengganti biaya pengetikan sebesar Rp. 200.000,- Per Skripsi. Silahkan anda Pilih Judul Skripsi yang anda inginkan beserta kode nomor skripsi ke wahyuddinyusuf87@gmail.com atau
SMS langsung kenomor 0819 3383 3343
Dengan format, Nama – Alamat – Kode dan judul Skripsi– e.mail – No.Hp.
Semua File skripsi bisa anda unduh / Download apabila anda telah mendonasikan biaya pengetikan diatas.
Anda cukup mentransfer biaya pengetikan ke nomor rekening BRI 489201003415532
Atas nama Wahyuddin, SE
Mudah bukan....... Ayo tunggu apa lagi....
dari pada bingung.
0 Response to "4. PENGARUH PENDIDIKAN APARATUR PERENCANA DAN SISTEM INFORMASI TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH "
Post a Comment