LGBT dan Respon Ilmuwan Religius Terhadap Benturan Sains-Agama



Karya Kitcher (2001), “Science, Truth, and Democracy”, mengingatkan saya pada diskusi Indonesian Lawyer Club (ILC) tentang LGBT yang disiarkan TV One pada 16 Februari 2016. Dalam acara tersebut, seorang peserta dengan lantang menyatakan bahwa homoseksualitas merupakan penyakit jiwa yang harus disembuhkan. Si pembuat pernyataan, Fidiansyah, adalah seorang psikiater dan tokoh perhimpunan dokter jiwa Indonesia. Ia mendasarkan klaimnya pada PPDGJ, yakni pedoman ilmiah bagi dokter jiwa dalam menegakkan diagnosis. Dengan kata lain, ucapan tersebut dimaksudkan sebagai pernyataan ilmiah. Yang menjadi persoalan adalah bahwa konsensus ilmiah dalam psikiatri dan PPDGJ tidak menggolongkan homoseksualitas sebagai penyakit. Ilmu psikiatri dan PPDGJ juga tidak menyatakan bahwa seorang homoseks perlu “dibantu” untuk mengubah orientasi seksualnya. 

Pernyataan Fidiansyah mengundang berbagai respon. Kalangan religius menggunakan klaim tersebut sebagai pembenaran ilmiah bagi kampanye anti-homoseksualitas. Website tarbiyah.net, misalnya, memproklamirkan bahwa “Argumen Ilmiah Dr. Fidiansjah Bikin Pendukung LGBT Mati Kutu”[1]. Portal Piyungan memberitakan bahwa pernyataan Findiansyah merupakan “skak mat” bagi aktivitas LGBT[2].


Di sisi lain, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melayangkan somasi terhadap Fidiansyah atas ketidakjujurannya dalam mengutip PPDGJ. Protes dan keprihatian juga datang dari mancanegara. Asosiasi Psikiatri Amerika (APA), misalnya, mengingatkan bahwa berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang orientasi seksual, homoseksualitas tidak dapat dikategorikan sebagai penyakit. APA menyitat penelitian yang menunjukkan kegagalan terapi “penyembuhan” homoseksualitas, serta temuan ilmiah mengenai kuatnya faktor-faktor biologis dalam pembentukan orientasi seksual[3]. Hal senada diungkapkan oleh Asosiasi Psikiatri Dunia[4]dan British Psychological Society[5]


Diagnostics and Statistics Manual (DSM) dari American Psychiatry Association (APA).
Merespon somasi LBH dan berbagai keberatan lain, pada 25 Februari 2016 Fidiansyah meminta maaf. Namun ia meminta maaf bukan karena membuat klaim ilmiah yang keliru, melainkan karena telah “menimbulkan ketidaknyamanan.”[6]  Sebaliknya, dalam permintaan maafnya, Fidiansyah kembali menegaskan bahwa ia harus menyampaikan “kebenaran” untuk “mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat”. Ia juga menegaskan bahwa “Tuhan Yang Maha Sempurna dan Maha Menyembuhkan senantiasa akan memberi pertolongan bagi hamba-Nya yang ingin kembali kepada fitrah seksual yang diridoi dan diberkatinya.”


Fakta bahwa Fidiansyah tetap menganggap homoseksualitas sebagai penyakit tidak mengejutkan. Yang menarik dicermati adalah bahwa ia tidak menawarkan argumentasi ilmiah untuk menyokong pendapatnya. Ia tidak membahas penelitian dan bukti-bukti ilmiah yang diajukan APA. Ia juga tidak mengajukan penelitian dan bukti ilmiah tandingan, atau pun merujuk pada PPDGJ. Alih-alih menggunakan sumber-sumber ilmiah untuk menjustifikasi pandangannya, Fidiansyah menggunakan otoritas agama dan Tuhan.



Diagnosis mengenai homoseksualitas adalah satu di antara banyak titik di mana sains modern berbenturan dengan nilai-nilai moral yang, dalam hal ini, bersumber pada agama. Ketika simpulan ilmiah bertentangan dengan nilai-nilai moral, apa yang seharusnya dilakukan ilmuwan religius?



Mengacu pada dua imaji tentang sains yang dijabarkan Philip Kitcher[7], kita bisa membayangkan dua jawaban yang saling bertentangan. Dalam imaji yang pertama, sains harus merdeka dari agenda partisan. Sains tidak akan menghasilkan kebenaran bila harus tunduk pada nilai-nilai moral, termasuk agama. Dalam hal oritentasi seksual, bagaimana mungkin ilmuwan bisa objektif dalam menarik simpulan dari data bila, misalnya, tujuan penelitiannya adalah untuk menyembuhkan homoseksualitas? Pengetahuan ilmiah selalu terbuka untuk direvisi, sehingga tidak bisa dipakai untuk melegimitasi keyakinan yang dianggap benar secara absolut.


Menurut imaji “sains objektif” ini, ilmuwan religius bisa saja memiliki keyakinan agama yang tak sejalan dengan sains. Namun keyakinan tersebut harus disubordinasikan, alias memiliki kedudukan epistemik yang lebih rendah dari sains. Fidiansyah, misalnya. boleh saja berpandangan bahwa homoseksualitas adalah penyakit. Namun hal itu harus dianggap sebagai pendapat personal yang tidak ilmiah. Dalam praktik profesional dan ilmiah sebagai psikiater, Fidiansyah justru harus berusaha agar keyakinan personal tersebut tidak membuatnya bias. Mudah dibayangkan bahwa pandangan ini membuat ilmuwan religius tidak nyaman.



Alternatif respon kedua ditawarkan oleh pandangan bahwa sains sebenarnya tidak jauh berbeda dari sistem keyakinan lain seperti agama dan mitologi kuno. Sebagaimana agama, sains juga disetir oleh nilai-nilai moral dan keyakinan ideologisnya sendiri. Dus, pengetahuan ilmiah tidak mungkin objektif. Yang digambarkan oleh konsensus ilmiah tentang homoseksualitas, misalnya, bukanlah gambaran objektif tentang orientasi seks manusia. Konsensus tersebut merupakan simpulan subjektif yang didasarkan pada nilai-nilai moral masyarakat Barat kontemporer, yang berpandangan bahwa individu homoseks memiliki hak-hak yang sama dengan mereka yang heteroseks.



Dalam imaji kedua ini, respon logis ilmuwan religius adalah mencampakkan sains Barat dan kemudian mengadopsi (atau mengembangkan) versi sains yang sejalan dengan agamanya. Dalam psikiatri agamis, para ilmuwan religius akan mengembangkan teori tentang mengapa homoseksualitas merupakan orientasi yang abnormal, serta obat dan metode untuk menyembuhkan dan membatasi penyebaran homoseksualitas.



Sepintas, pandangan “sains sebagai pelayan moral” semacam ini akan dengan mudah disetujui oleh ilmuwan religius. Namun ilmuwan religius tentu sulit mengakui bahwa agama merupakan sistem keyakinan yang sejajar dengan mitologi dan tahayul kuno. Ilmuwan religius tampaknya akan enggan untuk percaya doktrin agama memiliki status yang setara (sama-sama subjektifnya) dengan klaim-klaim sains modern yang bertentangan dengan doktrin agama tersebut.



Dengan demikian, baik “sains objektif” maupun “sains pelayan moral” tidak memberi opsi yang nyaman bagi ilmuwan religius dalam menghadapi benturan sains-agama. Pilihan apa lagi yang dimiliki ilmuwan religius? Jawabannya adalah berusaha membuat opsi yang memadukan “sains objektif” dengan unsur “sains pelayan moral.” Hal inilah yang dilakukan beberapa orang dalam isu homoseksualitas.



Sebagai contoh, dalam wawancara dengan majalah Hidayatullah, Fidiansyah menggambarkan pencoretan homoseksualitas dari daftar penyakit jiwa di Amerika sebagai hasil dari infiltrasi “pelaku homoseksual” ke dalam tim APA yang bertugas merumuskan manual diagnosis DSM[8]. Sepintas, tuduhan Fidiansyah sejalan dengan pandangan bahwa sains hanyalah sistem keyakinan yang sama subjektifnya dengan agama. Namun menurut saya Fidiansyah justru sedang mengukuhkan pandangan bahwa psikiatri merupakan sains yang objektif. Dalam hal diagnosis homoseksualitas, yang salah adalah APA sebagai sebuah organisasi, bukan ilmu psikiatrinya. Fidiansyah menggambarkan penghapusan homoseksualitas dari daftar penyakit sebagai keputusan politis, bukan konsensus ilmiah. Secara implisit Fidiansyah mengatakan bahwa seandainya para ilmuwan APA melihat bukti-bukti ilmiah secara objektif, mereka tentu akan kembali menggolongkan homoseksualitas sebagai penyakit.




Hal senada diungkapkan oleh Ihsan Gumilar, seorang dosen Universitas Bina Nusantara, dalam wawancaranya dengan harian Republika[9]. Ihsan membahas temuan tentang perbedaan struktur otak antara individu homoseks dan heteroseks. Menurut Ihsan, temuan ini merupakan dasar kesimpulan bahwa orientasi seksual merupakan bawaan lahir. Namun demikian, karena otak bersifat plastis (dapat berubah), perbedaan struktur otak bisa saja justru disebabkan oleh perbedaan perilaku seksual yang dijalani bertahun-tahun. Dus, tegas Ihsan, ini menggambarkan betapa lemahnya dasar ilmiah bagi klaim bahwa homoseksualitas merupakan bawaan lahir. Sebagaimana Fidiansyah, secara implisit Ihsan sedang menyatakan bahwa seandainya saja ada penelitian yang lebih objektif, lebih kuat, lebih komprehensif, maka akan terbukti bahwa homoseksualitas merupakan penyimpangan.



Singkat kata, dalam cara pandang ini, sains yang objektif semestinya menjadi pelayan moral. Sains yang objektif diyakini pasti menghasilkan pengetahuan yang mengkonfirmasi kebenaran agama. Dus, para ilmuwan religius seperti Fidiansyah dan Ihsan tidak akan puas dengan sebuah “psikiatri Islami” yang berdiri sejajar dengan “psikiatri Barat” dan mungkin psikiatri-psikiatri yang berakar pada tata nilai budaya lain. Menurut mereka, seharusnya hanya ada satu psikiatri, yakni psikiatri yang sejalan dengan doktrin agama yang diyakini.



Pandangan ini memang membuat para ilmuwan religius merasa nyaman. Mereka tidak perlu lagi memilih antara agama dan sains. Persoalannya, kenyamanan tersebut dibangun di atas fondasi yang rapuh. Ketika sains diharuskan mengkonfirmasi doktrin agama, ia tidak dapat lagi disebut sebagai sains. Maka pandangan ini sesungguhnya bukanlah sintesis dari “sains objektif” dan “sains pelayan moral.” Yang ia usung adalah sains pelayan moral yang menyaru sebagai sains objektif.










[7] Kitcher, P. (2001). Science, Truth, and Democracy. Oxford: Oxford University Press (hal. 3-9).

[8]http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2016/02/12/89233/homoseksual-dikeluarkan-dari-daftar-penyakit-karena-unsur-dominasi-politis.html


[9]http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/03/23/o4hn4t377-ada-upaya-pembenaran-perilaku-homoseksual-melalui-sains

Sumber gambar: 
1. http://www.cruxnow.com/wp-content/uploads/2015/10/Science-Religion-Survey.jpg
2. http://ecx.images-amazon.com/images/I/41ukUYY%2Bm7L._SX334_BO1,204,203,200_.jpg
3. https://images.sciencedaily.com/2009/08/090804090946_1_900x600.jpg


0 Response to "LGBT dan Respon Ilmuwan Religius Terhadap Benturan Sains-Agama"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel