Mengapa Riset Pendidikan Kita Minimalis?
Beberapa hari ini saya membaca ulang dengan lebih cermat kuesioner-kuesioner PISA dan TIMSS. Keduanya merupakan studi internasional di untuk mengukur hasil belajar siswa di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Selain mengukur hasil belajar (prestasi atau literasi) siswa di berbagai negara, studi-studi tersebut juga mengumpulkan data yang sangat kaya mengenai berbagai dimensi siswa, guru, orangtua, dan sekolah. Karena sampelnya mewakili populasi nasional, data yang dihasilkan bisa memberi gambaran berharga tentang pendidikan dan pembelajaran di masing-masing negara peserti studi. Data tersebut tersedia secara daring di situs masing-masing studi. Data ronde terbaru PISA, misalnya, bisa diakses di sini: http://www.oecd.org/pisa/data/2015database/.
Saya menjadi teringat dengan keheranan saya akan minimnya publikasi ilmiah mengenai pendidikan Indonesia berdasarkan data-data tersebut. Indonesia secara rutin menjadi peserta rutin sejak awal diselenggarkannya TIMSS (tahun 1995) dan PISA (tahun 2000). Keikutsertaan negara kita bisa terlihat dari catatan National Center for Education Statistics berikut:
https://nces.ed.gov/surveys/pisa/countries.asp
https://nces.ed.gov/timss/countries.asp
https://nces.ed.gov/surveys/pirls/countries.asp
Dan itu baru sebagian saja. Ada studi-studi internasional lain yang juga pernah diikuti Indonesia. Artinya, ada data yang sangat kaya dan berkualitas tentang berbagai aspek pendidikan di Indonesia. Data yang terbuka untuk umum. Tinggal mengunduh saja, tanpa perlu repot-repot menyusun instrumen dan turun lapangan!Mengapa tidak banyak peneliti kita yang memanfaatkannya untuk riset? Atau jangan-jangan saya saja yang tidak tahu?
Untuk mengecek, iseng-iseng saya mencoba mencari jumlah publikasi ilmiah yang terfokus pada Indonesia berdasarkan data studi internasional tersebut. Saya melakukan pencarian di database Springer dengan kata kunci nama studi dan "Indonesia". Hasilnya, hanya muncul 14 judul. Sedikit? Sulit memaknainya tanpa pembanding. Saya pun melakukan pencarian untuk dua tetangga dekat kita, Malaysia dan Singapura. Juga dengan beberapa negara lain. Hasilnya sebagai berikut:
Malaysia 17, Singapura 101, Taiwan/Taipei 57, Jepang 95, Cina 143, Finlandia 83, dan Jerman 175.
Meski ini pencarian sepintas lalu, bolehlah saya simpulkan sementara bahwa jumlah publikasi kita lebih sedikit dibanding negara-negara lain. Itu dari jumlah absolut. Apalagi kalau mempertimbangkan jumlah peneliti dan dosen pendidikan dan ilmu sosial yang saya duga jauh lebih banyak di Indonesia daripada negara-negara tersebut.
Pertanyaannya, mengapa demikian? Kemungkinan pertama yang terlintas adalah soal akses. Meski tersedia untuk umum, struktur data hasil studi-studi internasional ini cukup kompleks. Perlu sedikit keterampilan teknis dan metodologis yang mungkin dikuasai hanya sedikit peneliti di Indonesia. Tapi setahu saya Puspendik-Balitbang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan secara rutin menyelenggarakan workshop untuk melatih peneliti agar bisa memanfaatkan data-data ini. Sudah ada ratusan peneliti yang mengetahui cara mengakses dan mengolahnya.
Kemungkinan kedua, ini hanya bagian dari gejala umum terkait lemahnya kapasitas riset pendidikan kita. Ini persoalan yang kompleks. Tanpa berpura-pura memahaminya secara mendalam, saya hanya ingin mengatakan bahwa ini bukan semata-mata soal buruknya kemampuan para individu penelitinya. Ini persoalan kebudayaan yang lebih mendasar, soal alam pikir dan sistem yang belum memberi ruang memadai untuk ilmu pengetahuan.
Produk dari riset adalah pengetahuan. Karena itu, riset hanya akan maju di masyarakat yang menghargai dan haus akan pengetahuan. Di bidang pendidikan, terutama, penghargaan tersebut mungkin lebih jauh tertinggal dibanding bidang lain. Kalau kebijakan sepenting kurikulum nasional dan sistem seleksi masuk sekolah saja bisa dibuat tanpa merujuk pada hasil penelitian, sulit berharap bahwa riset pendidikan akan maju.
Selain mengukur hasil belajar (prestasi atau literasi) siswa di berbagai negara, studi-studi tersebut juga mengumpulkan data yang sangat kaya mengenai berbagai dimensi siswa, guru, orangtua, dan sekolah. Karena sampelnya mewakili populasi nasional, data yang dihasilkan bisa memberi gambaran berharga tentang pendidikan dan pembelajaran di masing-masing negara peserti studi. Data tersebut tersedia secara daring di situs masing-masing studi. Data ronde terbaru PISA, misalnya, bisa diakses di sini: http://www.oecd.org/pisa/data/2015database/.
Saya menjadi teringat dengan keheranan saya akan minimnya publikasi ilmiah mengenai pendidikan Indonesia berdasarkan data-data tersebut. Indonesia secara rutin menjadi peserta rutin sejak awal diselenggarkannya TIMSS (tahun 1995) dan PISA (tahun 2000). Keikutsertaan negara kita bisa terlihat dari catatan National Center for Education Statistics berikut:
https://nces.ed.gov/surveys/pisa/countries.asp
https://nces.ed.gov/timss/countries.asp
https://nces.ed.gov/surveys/pirls/countries.asp
Dan itu baru sebagian saja. Ada studi-studi internasional lain yang juga pernah diikuti Indonesia. Artinya, ada data yang sangat kaya dan berkualitas tentang berbagai aspek pendidikan di Indonesia. Data yang terbuka untuk umum. Tinggal mengunduh saja, tanpa perlu repot-repot menyusun instrumen dan turun lapangan!Mengapa tidak banyak peneliti kita yang memanfaatkannya untuk riset? Atau jangan-jangan saya saja yang tidak tahu?
Untuk mengecek, iseng-iseng saya mencoba mencari jumlah publikasi ilmiah yang terfokus pada Indonesia berdasarkan data studi internasional tersebut. Saya melakukan pencarian di database Springer dengan kata kunci nama studi dan "Indonesia". Hasilnya, hanya muncul 14 judul. Sedikit? Sulit memaknainya tanpa pembanding. Saya pun melakukan pencarian untuk dua tetangga dekat kita, Malaysia dan Singapura. Juga dengan beberapa negara lain. Hasilnya sebagai berikut:
Malaysia 17, Singapura 101, Taiwan/Taipei 57, Jepang 95, Cina 143, Finlandia 83, dan Jerman 175.
Meski ini pencarian sepintas lalu, bolehlah saya simpulkan sementara bahwa jumlah publikasi kita lebih sedikit dibanding negara-negara lain. Itu dari jumlah absolut. Apalagi kalau mempertimbangkan jumlah peneliti dan dosen pendidikan dan ilmu sosial yang saya duga jauh lebih banyak di Indonesia daripada negara-negara tersebut.
Pertanyaannya, mengapa demikian? Kemungkinan pertama yang terlintas adalah soal akses. Meski tersedia untuk umum, struktur data hasil studi-studi internasional ini cukup kompleks. Perlu sedikit keterampilan teknis dan metodologis yang mungkin dikuasai hanya sedikit peneliti di Indonesia. Tapi setahu saya Puspendik-Balitbang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan secara rutin menyelenggarakan workshop untuk melatih peneliti agar bisa memanfaatkan data-data ini. Sudah ada ratusan peneliti yang mengetahui cara mengakses dan mengolahnya.
Kemungkinan kedua, ini hanya bagian dari gejala umum terkait lemahnya kapasitas riset pendidikan kita. Ini persoalan yang kompleks. Tanpa berpura-pura memahaminya secara mendalam, saya hanya ingin mengatakan bahwa ini bukan semata-mata soal buruknya kemampuan para individu penelitinya. Ini persoalan kebudayaan yang lebih mendasar, soal alam pikir dan sistem yang belum memberi ruang memadai untuk ilmu pengetahuan.
Produk dari riset adalah pengetahuan. Karena itu, riset hanya akan maju di masyarakat yang menghargai dan haus akan pengetahuan. Di bidang pendidikan, terutama, penghargaan tersebut mungkin lebih jauh tertinggal dibanding bidang lain. Kalau kebijakan sepenting kurikulum nasional dan sistem seleksi masuk sekolah saja bisa dibuat tanpa merujuk pada hasil penelitian, sulit berharap bahwa riset pendidikan akan maju.
0 Response to "Mengapa Riset Pendidikan Kita Minimalis?"
Post a Comment