Sejarah Wayang Indonesia




Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta yang dicetak pada tahun 1976 oleh Balai Pustaka, wayang artinya gambar atau tiruan orang dsb dibuat dari kulit , kayu dsb untuk mempertunjukan suatu lakon.  Ada banyak variasi dari wayang seperti wayang orang, wayang golek dan wayang kulit yang tersebar di daerah berbeda.

Wayang kulit merupakan salah satu seni pertunjukan yang berasal dari kebudayaan jawa dan sangat terkenal. Hal ini dikarenakan pertunjukan wayang sangat sarat dengan unsur estetika dan pesan moral yang terkandung di dalam setiap pertunjukannya. Ada dua pendapat berbeda yang menjelaskan makna kata wayang, Wayang sendiri berasal dari sebuah kalimat yang berbunyi â??Ma Hyangâ?, artinya berjalan menuju yang maha tinggi (disini bisa diartikan sebagai roh, Tuhan, ataupun Dewa). Atau berasal dari kata “Ma Hyang” yang berarti roh spiritual, dewa , atau Tuhan Yang Maha Esa.

Sedangkan pendapat lainnya berasal dari bahasa jawa yang berarti bayangan. Hal ini dikarenakan, dalam pertunjukan wayang kita hanya melihat bayang bentuk dari wayang kulit yang dimainkan. Ditinjau dari sejarah yang ada, asal usul wayang dianggap telah hadir semenjak 1500 tahun sebelum Masehi. Wayang lahir dari para cendikiawan Nenek Moyang suku Jawa di masa silam. Pada masa itu, wayang diperkirakan hanya terbuat dari rerumputan yang diikat sehingga bentuknya masih sangat sederhana. Wayang dimainkan dalam ritual pemujaan roh nenek moyang dan dalam upacara-upacara adat Jawa

Pada periode selanjutnya, penggunaan bahan-bahan lain seperti kulit binatang buruan atau kulit kayu mulai dikenal dalam pembuatan wayang. Adapun wayang kulit tertua yang pernah ditemukan diperkirakan berasal dari abad ke 2 Masehi.

Perkembangan wayang terus terjadi. Cerita-cerita yang dimainkan pun kian berkembang. Adapun masuknya agama Hindu di Indonesia pun telah menambah khasanah kisah-kisah yang dimainkan dalam pertunjukan wayang. Kisah Mahabrata dan Ramayana merupakan 2 contoh kisah yang menjadi favorit pada zaman Hindu Budha di masa itu. Kedua epik ini dinilai lebih menarik dan memiliki kesinambungan cerita yang unik sehingga pada abad ke X hingga XV Masehi, kedua kisah inilah justru yang menjadi cerita utama dalam setiap pertunjukan wayang.

Wayang kulit sendiri merupakan kekayaan budaya yang bernilai tinggi karena selain merupakan sebuah seni kriya, pertunjukan wayang kulit mampu menggabungkan berbagai macam kesenian seperti seni sastra, seni musik, dan seni rupa. Seni sastra dari pupuh yang diucapkan oleh dalang , Seni musik dari lantunan berbagai nama alat musik tradisional, dan seni rupa dari visualisasi wayng kulit yang unik dan khas budaya Indonesia.

Populer di daerah sekitar provinsi jawa tengah dan jawa timur, Dalam sejarah asal usul kesenian wayang kulit, wayang kulit sendiri terbagi menjadi beberapa jenis dan satu di antaranya adalah wayang kulit Gagrag Banyumasan. Untuk wayang kulit jenis ini adalah sebuah gaya pedalangan yang juga dikenal dengan nama pakeliran. Gaya ini dinilai sebagai cara untuk mempertahankan nilai, dimana perawatan dan kualitas yang mereka tunjukkan di panggung selalu menunjukkan hal ini. Unsur-unsur yang ada dalam pakeliran adalah: lakon, sabet (gerakan yang akan dilakukan oleh para wayang), catur (narasi dan percakapan antara karakter), serta karawitan yang berarti musik.

Contoh lain dari pembagian jenis wayang kulit lainnya wayang kulit Banjar, yang sesuai namanya berkembang di Banjar, Kalimantan Selatan. Masyarakat kerajaan Banjar awalnya memang telah mengenal seni wayang kulit ini dimulai dari awal abad ke-14. Pernyataan ini menjadi jauh lebih kuat ketika Majapahit akhirnya berhasil menduduki beberapa bagian wilayah Kalimantan dan membawa misi untuk menyebarkan agama Hindu menggunakan taktik untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit.

Contoh lain lagi ialah wayang siam yang terkenal di Kelantan, Malaysia. Wayang Siam sendiri merupakan sebuah pertunjukkan wayang one man show, dimana bahasa-bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu. Dari awal, tidak ada bukti yang jelas tentang kemunculan pertama wayang siam, jadi orang-orang berpendapat bahwa kesenian ini berasal dari Jawa, mengikut simbol-simbol yang sangat bercorak Jawa.
kini kesenian wayang kulit telah di kenal di dunia mancanegara.

Sejarah Wayang Indonesia-Dibawah ini sedikit ulasan sejarah wayang kulit dan perkembangannya
.
Wayang kulit di zaman kerajaan

Bukti konkret pertama yang ditemukan membahas mengenai kesenian wayang berbentuk sebuah catatan. Catatan ini mengacu pada sebuah prasasti yang bisa dilacak berasal dari tahun 930. Prasasti tersebut menyebutkan tentang si Galigi mawayang. Galigi yang dimaksud disini adalah seorang dalang dalam pertunjukan wayang kulit. Sesuai dengan isi kitab  “Kakawin Arjunawiwaha” buatan Empu Kanwa, pada tahun 1035. Dideskripsikan bahwa sosok si Galigi adalah seorang yang cepat, dan hanya berjarak satu wayang dari Jagatkarana atau dalang terbesar hanyalah berjarak satu layar dari kita.

Catatan sejarah pertama tentang adanya pertunjukkan wayang mengacu pada sebuah prasasti yang bisa dilacak berasal dari tahun 930, yang menyebutkan adanya sosok Galigi mawayang. Saat itulah sampai sekarang, beberapa fitur teater boneka tradisional tetap ada. Galigi sendiri merupakan seorang penampil yang sering dimintai untuk menggelar pertunjukkan ketika ada acara atau upacara penting. Pada saat itu, ia biasanya membawakan sebuah cerita tentang Bima, seorang ksatria dari kisah Mahabharata.

Penampilan yang dibawakan oleh Galigi tercatat dalam kakawin Arjunawiwaha yang dibuat oleh Mpu Kanwa pada tahun 1035 yang mendiskripsikannya sebagai seorang yang cepat, dan hanya berjarak satu wayang dari Jagatkarana. Kata jagatkarana merupakan sebuah ungkapan untuk membandingkan kehidupan nyata kita dengan dunia perwayangan, dimana Jagatkarana yang berarti penggerak dunia atau dalang terbesar hanyalah berjarak satu layar dari kita.

Dimulai dengan Wayang Purwa pertama kali dimiliki oleh Sri Jayabaya (Raja Kediri tahun 939 M). Wayang Purwa kemudian dikembangkan oleh Raden Panji di Jenggala ditahun 1223 M. Pada tahun 1283 M Raden Jaka Susuruh menciptakan Wayang dari kertas . Wayang hasil ciptaan Raden Jaka ini yang dikenal dengan “Wayang Beber“. Semakin lama Sangging Prabangkara pada tahun 1301 M mengembangkan karakter wayang beber sesuai dengan adegannya. 

Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian. 

Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri. Sektar abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.

Masa berikutnya yaitu pada jaman Jenggala, kegiatan penciptaan wayang semakin berkembang. Semenjak Raja Jenggala Sri Lembuami luhur wafat, maka pemerintahan dipegang oleh puteranya yang bernama Raden Panji Rawisrengga dan bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa Sri Suryawisesa giat menyempurnakan bentuk wayang Purwa. Wayang-wayang hasil ciptaannya dikumpulkan dan disimpan dalam peti yang indah. Sementara itu diciptakan pula pakem ceritera wayang Purwa. Setiap ada upacara penting di istana diselenggarakan pagelaran Wayang Purwa dan Sri Suryawisesa sendiri bertindak sebagal dalangnya.

Para sanak keluarganya membantu pagelaran dan bertindak sebagai penabuh gamelan. Pada masa itu pagelaran wayang Purwa sudah diiringi dengan gamelan laras slendro. Setelah Sri Suryawisesa wafat, digantikan oleh puteranya yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar Suryaamiluhur. Selama masa pemerintahannya beliau giat pula menyempurnakan Wayang. Gambar-gambar wayang dari daun lontar hasil ciptaan leluhurnya dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar. Dengan gambaran wayang yang dilukis pada kertas ini, setiap ada upacara penting di lingkungan kraton diselenggarakan pagelaran wayang.

Pada jaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber. Semenjak terciptanya wayang Beber tersebut terlihat pula bahwa lingkup kesenian wayang tidak semata-mata merupakan kesenian Kraton, tetapi malah meluas ke lingkungan diluar istana walaupun sifatnya masih sangat terbatas. Sejak itu masyarakat di luar lingkungan kraton sempat pula ikut menikmati keindahannya. Bilamana pagelaran dilakukan di dalam istana diiringi dengan gamelan laras slendro. 

Tetapi bilamana pagelaran dilakukan di luar istana, maka iringannya hanya berupa Rebab dan lakonnya pun terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakon khusus untuk upacara ruwatan. Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, kebetulan sekali dikaruniai seorang putera yang mempunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging Prabangkara. Bakat puteranya ini dimanfaatkan oleh Raja Brawijaya untuk menyempurkan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya Raja, Kesatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin Semarak. Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit dengan sengkala ; Geni murub siniram jalma ( 1433 / 1511 M ), maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini terjadi karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menggemari seni kerawitan dan pertunjukan wayang.

Wayang kulit pada zaman kerajaan islam

Tidak asing di telinga kita nama Sunan Kalijaga yang merupakan salah satu dari tokoh sembilan wali. Beliau bernama asli Joko Said yang lahir pada 1450 M. Wayang kulit yang ada pada saat ini adalah karya inovasi dari Sunan Kalijaga. Wayang Beber Kuno yang menggambarkan wujud manusia secara detail dibuat menjadi lebih samar. Karakter seperti Bagong, Petruk, dan Gareng adalah lakon ciptaan Sunan Kalijaga.

Lakon-lakon tersebut dibuat sedemikian rupa agar dapat membawa nafas islam pada pertunjukan wayang kulit yang saat itu masih di dominasi kebudayaan Hindu Budha. Pada masa itu sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri.

Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan di-buat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai dikaki. Wayang dari kulit kerbau ini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.

Pada masa itu terjadi perubahan secara besar- besaran diseputar pewayangan. Disamping bentuk wayang baru, dirubah pula tehnik pakelirannya, yaitu dengan mempergunakan sarana kelir / layar, mempergunakan pohon pisang sebagai alat untuk menancapkan wayang, mempergunakan blencong sebagai sarana penerangan, mempergunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang. Dan diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Meskipun demikian dalam pagelaran masih mempergunakan lakon baku dari Serat Ramayana dan Mahabarata, namun disana- sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah, walaupun masih dalam bentuk serba pasemon atau dalam bentuk lambang-lambang.

Adapun wayang Beber yang merupakan sumber, dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipagelarkan di luar lingkungan istana. Kesukaan masyarakat Jawa pada seni pertunjukan wayang pada masa tersebut juga berpengaruh terhadap proses penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga misalnya, ketika beliau berdakwah, beliau akan menggelar pertunjukan wayang dan memainkannya untuk mengundang banyak orang datang. Dalam pertunjukan itu, beliau menyisipkan pesan moril dan dakwah islam secara perlahan agar masyarakat yang mayoritas masih memeluk Hindu dan Budha itu tertarik untuk mengetahui Islam lebih dalam.

Dari perkembangannya, pertunjukan wayang juga mulai diiringi dengan segala perlengkapan alat musik tradisional gamelan dan para sinden. Kedua pelengkap ini dihadirkan Sunan Kalijaga untuk menambah semarak pertunjukan wayang sehingga lebih menarik untuk ditonton. Pertunjukan wayang ini kemudian berkembang menjadi beberapa jenis, salah satunya adalah wayang kulit.

Pada jaman pemerintahan Sultan Syah Alam Akbar III atau Sultan Trenggana, perwujudan wayang kulit semakin semarak. Bentuk-bentuk baku dari wayang mulai diciptakan. Misalnya bentuk mata, diperkenalkan dua macam bentuk liyepan atau gambaran mata yang mirip gabah padi atau mirip orang yang sedang mengantuk. Dan mata telengan yaitu mata wayang yang berbentuk bundar. Penampilan wayang lebih semarak lagi karena diprada dengan cat yang berwarna keemasan.

Pada jaman itu pula Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri, berkenan menciptakan wayang jenis lain yaitu wayang Gedog. Bentuk dasar wayang Gedog bersumber dari wayang Purwa. Perbedaannya dapat dilihat bahwa untuk tokoh laki-laki memakai teken. Lakon pokok adalah empat negara bersaudara, yaitu Jenggala, Mamenang / Kediri, Ngurawan dan Singasari. Menurut pendapat Dr. G.A.J. Hazeu, disebutkan bahwa kata “Gedog” berarti kuda. Dengan demikian pengertian dari Wayang Gedog adalah wayang yang menampilkan ceritera-ceritera Kepahlawanan dari “Kudawanengpati”atau yang lebih terkenal dengan sebutan Panji Kudhawanengpati.

Pada pagelaran wayang Gedog diiringi dengan gamelan pelog. Sunan Kudus salah seorang Wali di Jawa menetapkan wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana. Berhubung wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana, maka Sunan Bonang membuat wayang yang dipersiapkan sebagai tontonan rakyat, yaitu menciptakan wayang Damarwulan . Yang dijadikan lakon pokok adalah ceritera Damarwulan yang berkisar pada peristiwa kemelut kerajaan Majapahit semasa pemerintahan Ratu Ayu Kencana Wungu, akibat pemberontakan Bupati Blambangan yang bernama Minak Jinggo.

Untuk melengkapi jenis wayang yang sudah ada, Sunan Kudus menciptakan wayang Golek dari kayu. Lakon pakemnya diambil dari wayang Purwa dan diiringi dengan gamelan Slendro, tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer dan rebab. Sunan Kalijaga tidak ketinggalan juga, untuk menyemarakkan perkembangan seni pedalangan pada masa itu dengan menciptakan Topeng yang dibuat dari kayu. Pokok ceriteranya diambil dari pakem wayang Gedog yang akhirnya disebut dengan topeng Panji. Bentuk mata dari topeng tersebut dibuat mirip dengan wayang Purwa. Pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Panembahan Senapati atau Sutawijaya, diadakan perbaikan bentuk wayang Purwa dan wayang Gedog. Wayang ditatah halus dan wayang Gedog dilengkapi dengan keris.

Disamping itu baik wayang Purwa maupun wayang Gedog diberi bahu dan tangan yang terpisah dan diberi tangkai. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyakrawati, wayang Beber yang semula dipergunakan untuk sarana upacara ruwatan diganti dengan wayang Purwa dan ternyata berlaku hingga sekarang. Pada masa itu pula diciptakan beberapa tokoh raksasa yang sebelumnya tidak ada, antara lain Buto Cakil. Wajah mirip raksasa, biasa tampil dalam adegan Perang Kembang atau Perang Bambangan.

Perwujudan Buta Cakil ini merupakan sengkalan yang berbunyi: Tangan Jaksa Satataning Jalma ( 1552 J / 1670 M ). Dalam pagelaran wayang Purwa tokoh Buta Cakil merupakan lambang angkara murka. Bentuk penyempurnaan wayang Purwa oleh Sultan Agung tersebut diakhiri dengan pembuatan tokoh raksasa yang disebut Buta Rambut Geni, yaitu merupakan sengkalan yang berbunyi Urubing Wayang Gumulung Tunggal: ( 1553 J / 1671 M ). Sekitar abad ke 17, Raden Pekik dari Surabaya menciptakan wayang Klitik, yaitu wayang yang dibuat dari kayu pipih, mirip wayang Purwa. Dalam pagelarannya dipergunakan pakem dari ceritera Damarwulan, pelaksanaan pagelaran dilakukan pada siang hari.

Pada tahun 1731 Sultan Hamangkurat I menciptakan wayang dalam bentuk lain yaitu wayang Wong. Wayang wong adalah wayang yang terdiri dari manusia dengan mempergunakan perangkat atau pakaian yang dibuat mirip dengan pakaian yang ada pada wayang kulit.

Dalam pagelaran mempergunakan pakem yang berpangkal dari Serat Ramayana dan Serat Mahabarata. Perbedaan wayang Wong dengan wayang Topeng adalah ; pada waktu main, pelaku dari wayang Wong aktif berdialog; sedangkan wayang Topeng dialog para pelakunya dilakukan oleh dalang.

Pada jaman pemerintahan Sri Hamangkurat IV; beliau dapat warisan Kitab Serat Pustakaraja Madya dan Serat Witaraja dari Raden Ngabehi Ranggawarsito. Isi buku tersebut menceriterakan riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra yang bertahta di negara Mamenang / Kediri.

Kemudian pindah Kraton di Pengging. Isi kitab ini mengilhami beliau untuk menciptakan wayang baru yang disebut wayang Madya. Ceritera dari Wayang Madya dimulai dari Prabu Parikesit, yaitu tokoh terakhir dari ceritera Mahabarata hingga Kerajaan Jenggala yang dikisahkan dalam ceritera Panji.

Bentuk wayang Madya, bagian atas mirip dengan wayang Purwa, sedang bagian bawah mirip bentuk wayang gedog. Semasa jaman Revolusi fisik antara tahun 1945 – 1949, usaha untuk mengumandangkan tekad pejuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan berbagai cara.

Dari zaman ini, tercipta beberapa istilah perwayangan yang sebenarnya merupakan serapan atau merujuk pada bahasa Arab seperti:

Dalang, berasal dari kata “Dalla” yang berarti menunjukkan. Sunan Kalijaga memilih kata tersebut dengan keinginan nantinya Dalang dapat menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang. Sementara dari pengertian yang lain dalang merupakan sebuah singkatan dari kata-kata ngudhal piwulang, dimana ngudhal berarti menyebar luaskan atau membuka dan piwulang berarti pendidikan atau ilmu. Hal ini menegaskan posisi dalang sebagai orang yang memiliki ilmu lebih dan membagikannya kepada para penonton pertunjukkan wayang.

Tokoh Semar, berasal dari kata “Simaar” yang berarti paku. Sunan Kalijaga memilih kata tersebut dengan maksud tokoh Semar ini akan menginspirasi orang agar memiliki karakter iman yang kuat dan kokoh seperti paku.

Tokoh Petruk, berasal dari kata “Fat-ruuk” yang berarti tinggalkan. Sunan Kalijaga memilih kata tersebut dengan maksud tokoh Petruk ini memberitahu kita bahwa seseorang harus meninggalkan apa yang disembah selain Allah semata.
Tokoh Gareng, berasal dari kata “Qariin” yang berarti teman. Sunan Kalijaga memilih kata tersebut dengan maksud, seseorang muslim harus pandai mencari teman untuk diajak menuju jalan kebaikan.

Tokoh Bagong, yang berasal dari kata “Baghaa” yang berarti berontak. Sunan Kalijaga memilih kata tersebut dengan maksud, seseorang muslim harus memberontak ketika melihat kedzaliman di hadapannya.

Wayang di dunia Internasional

Di bawa oleh Ki Purbo Asmoro, wayang kulit mulai populer di beberapa negara di Asia hingga Eropa. Seperti negara perancis, Inggris, Austria, Yunani, Jepang, Thailand, Singapura, Amerika, Bolivia dan masih banyak lagi. Namun sebelum sampai ke era kepopulerannya di masa sekarang.

Dan terjadi tepat pada tanggal 7 November 2003, Wayang Kulit dinobatkan sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit juga turut di daftarkan sebagai daftar representatif budaya tak benda warisan manusia oleh UNESCO, sebuah lembaga budaya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Barulah pada tanggal 21 April 2004 di Paris-Perancis berlangsung upacara penyerahan penghargaannya.

Hal ini tentulah sangat membanggakan, Koichiro Matsuura menyerahkan Piagam Penghargaan Wayang Indonesia kepada Drs. H. Solichin, Ketua Umum SENA WANGI (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia) yang mewakili masyarakat Pewayangan Indonesia. Wayang telah memiliki dampak positif bagi citra bangsa Indonesia di mata dunia. Suatu prestasi budaya yang luar biasa, sekaligus sebagai tantangan apakah kita mampu melestarikan dan mengembangkan wayang bagi semua kepentingan.

Wayang adalah sebuah seni pertunjukkan Indonesia yang berkembang pesat dan telah diakui dunia karena keunikan yang dimilikinya. Sama seperti Batik, UNESCO pada 7 November 2003 juga telah menobatkan wayang sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity atau warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur asli Indonesia. Seni pertunjukan wayang sendiri disukai oleh semua lapisan masyarakat. Bukan hanya di Jawa, kini wayang juga akrab dan sering disajikan di acara-acara sakral di seluruh dunia.

Pertunjukan Wayang sebagai media hiburan terus berkembang sejalan dengan perubahan pandangan dan aktivitas sosial masyarakat masa kini. Berbagai upaya pelestarian untuk mempertahankan pakem tidak pernah berhenti dilakukan para pejuang kesenian wayang. 
 
Namun di masa sekarang ini, ketertarikan anak muda akan kesenian wayang kulit bisa dinilai sangat rendah, mengingat banyaknya permainan berbasis teknologi yang bisa mereka mainkan. Meski begitu, masih banyak juga orang tua yang dengan aktif mengajarkan anaknya untuk mengapresiasi salah satu karya seni tradisional Indonesia ini, dan hal tersebutlah yang dibutuhkan untuk memajukan wayang kulit di masa ini.

Sebagai sebuah langkah pendekatan hiburan masyarakat, para kreator seni memberi sentuhan-sentuhan lain agar lebih mudah dicerna, seperti penggunaan bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, ataupun dengan memberi tambahan penokohan yang disesuaikan dengan kehidupan masa kini.

Nah, itulah Sejarah Wayang Indonesia dan perkembangannya sampai saat ini. Cukup panjang bukan perjalanan wayang dalam menemani kehidupan budaya masyarakat nenek moyang kita? Oleh karena itu, mari mulai sekarang kita lestarikan warisan ini agar tetap lestari sampai anak cucu kita kelak. Semoga bermanfaat.



SPN 

0 Response to "Sejarah Wayang Indonesia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel