Sejarah HIV-AIDS di Indonesia


Dari waktu ke waktu nama HIV/AIDS semakin terkenal sebagai penyakit yang mematikan. Terkenalnya nama itu tidak disertai dengan pengetahuan yang benar tentang nama tersebut. HIV dan AIDS sering disama artikan. Padahal keduanya memiliki makna yang berbeda. Virus HIV (Human Imunodeficiency Virus) merupakan penyebab penyakit yang sangat mematikan dan dikenal dengan nama AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan global yang tiada habisnya dari tahun ke-tahun dan tersebar hampir di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia.

Virus imunodifisiensi manusia, HIV, telah menjadi virus mematikan di dunia. Virus yang menyebabkan penyakit AIDS ini telah menjadi pandemi global.
HIV/AIDS merupakan penyakit yang memiliki sejarah hidup. Sejarah yang terus berkesinambungan sehingga merupakan rentang peristiwa yang panjang dari zaman dahulu hingga sekarang, dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Namun bagaimana riwayat virus ini bisa muncul dan kemudian menyebar ke seluruh dunia belum banyak yang tahu. HIV pada awalnya muncul pada hewan monyet dan kera di Afrika tengah bagian barat.

Penyebaran virus tersebut pada hewan itu kemudian menyebar ke manusia. Dalam beberapa kasus, manusia awalnya terdampak virus ini karena mengonsumsi daging dari monyet atau kera liar yang terinfeksi.

Beberapa kasus penderita HIV awal disebutkan karena mereka memakan daging monyet jenis mangabey.

Sebagaimana diketahui sudah diyakini oleh banyak studi bahwa kera merupakan kerabat dekat manusia. Studi menunjukkan manusia lebih dekat dengan kera dibanding monyet.
Salah satu yang masuk dalam golongan kera yaitu simpanse dan gorila. Dengan demikian untuk menyebar ke manusia cukup mudah.

Sejarah tentang HIV/AIDS dimulai ketika tahun 1979 di Amerika Serikat ditemukan seorang gay muda dengan Pneumocystis Carinii dan dua orang gay muda dengan Sarcoma Kaposi. Pada tahun 1981 ditemukan seorang gay muda dengan kerusakan sistem kekebalan tubuh.

Di Amerika Utara dan Inggris, epidemik pertama terjadi pada kelompok laki-laki homoseksual, selanjutnya pada saat ini epidemik terjadi juga pada pengguna obat dan pada populasi heteroseksual.

Para ilmuwan berhasil mengungkap asal-usul virus HIV. Setengah dari garis keturunan virus human immunodeficiency atau HIV-1 disebut berasal dari hewan gorila di Kamerun yang mungkin terjadi akibat perburuan liar hingga akhirnya menginfeksi manusia.

HIV-1 yang menyebabkan AIDS, terdiri dari empat kelompok, masing-masing berasal dari transmisi lintas-spesies dari kera ke manusia yang sebelumnya terpisah.

Penelitian terbaru seputar asal-usul virus HIV dipublikasi dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.


Menurut laporan Reuters, penelitian sebelumnya mengidentifikasi simpanse dari Kamerun bagian selatan sebagai sumber HIV-1 kelompok M. Virus ini telah menginfeksi lebih dari 40 juta orang di seluruh dunia yang memicu pandemi AIDS.

Sementara itu, virus HIV-1 kelompok N diidentifikasi menginfeksi 20 juta orang.

“Dengan demikian, baik simpanse dan gorila merupakan tempat bagi virus yang mampu melintasi penghalang terhadap spesies manusia dan menyebabkan wabah penyakit besar,” kata ahli virus Martine Peeters dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universitas Montpellier di Perancis.

Dalam penelitian ini, para ilmuwan memeriksa kotoran dari gorila yang berbeda-beda di kawasan Afrika Tengah, termasuk di daratan Barat yang rendah, goril di daratan rendah di timur dan gorila di kawasan gunung di Kamerun, Gabon, Kongo, serta Uganda.

Hingga saat ini, kelompok lain dari virus HIV-1, yaitu kelompok O dan P, belum dikonfirmasi asal-usulnya.

Meski belum diketahui asal-usulnya, HIV-1 kelompok O telah tersebar di Kamerun, Gabon, Nigeria, dan negara tetangga yang telah mengifeksi 100.000 orang. Sementara kelompok P sejauh ini diketahui menginfeksi dua orang di Kamerun.

Para peneliti berkata HIV-1 kelompok O muncul pada awal abad ke-20 dan kelompok P muncul beberapa tahun kemudian di abad itu.

Jenis virus lain yang disebut HIV-2, terbatas penyebarannya di Afrika Barat. Ia dinilai kurang mudah menular dibandingkan HIV-1, perkembangannya juga lebih lambat untuk AIDS. HIV-2 diduga ditularkan dari monyet jenis mangabey di Afrika Barat.

Menurut data PBB, sejak 1981 tercatat 78 juta orang telah terinfeksi HIV, dan 39 juta di antaranya meninggal dunia.

Dikutip dari BBC, Jumat 20 November 2015, HIV yang berasal dari kera yaitu jenis virus HIV-1 atau sering disebut HIV-1 grup O.
Namun faktanya, hanya satu bentuk HIV yang mampu menyebar dan meluas setelah menjangkiti manusia. Jenis virus ini yaitu HIV-1 grup M, yang berasal dari simpanse. Lebih dari 90 persen infeksi HIV merujuk pada jenis grup M tersebut.

Sebuah studi pada 2014 menunjukkan jenis virus HIV-1 grup M ternyata tak begitu istimewa dan menakutkan. Malah, virus itu hanya perlu mengambil kondisi sederhana untuk bisa makin menyebar luas.

"Faktor ekologi mendorong ini cepat menyebar dibanding faktor evolusi," kata Nuno Faria, peneliti Universitas Oxford, Inggris.

Untuk sampai pada kesimpulan itu, Faria dan koleganya sebelumnya membangun pohon keluarga HIV. Mereka mencari lapisan keragaman genom HIV dengan mengumpulkan dari 800 orang di Afrika tengah yang terinfeksi virus tersebut.

Ternyata RNA virus HIV berevolusi sejuta kali lebih cepat dibanding DNA manusia. Dengan demikian, kata Faria, tanda tingkat rata-rata mutas akumulasi genom HIV memang sangat cepat. Bukti cepatnya mutasi itu ditunjukkan dengan temuan genom HIV semua berbagi pada nenek moyang yang sama yang telah ada tidak lebih dari 100 tahun lalu. Mereka menemukan orang pertama yang telah terinfeksi HIV-1 grup M kemungkinan terjadi pada 1920-an.

Karena tim Faria telah mengumpulkan urutan sampel genom HIV, mereka akhirnya menemukan, Kinshasa, kota di Republik Demokratik Kongo merupakan tempat pertama kasus infeksi HIV muncul.Dari situ peneliti bisa melacak bagaimana penyebaran HIV meluas sampai ke seluruh dunia.

Pada 1920-an, Republik Demokratik Kongo merupakan jajahan Belgia dan Kinshasa, yang kini dikenal sebagai Leopoldville. Saat itu Kinshasa telah menjadi sebuah kota besar. Kota ini telah menjadi tujuan menarik bagi para pekerja muda untuk mencari pekerjaan. Kota ini juga menarik para pekerja seks untuk melayani kebutuhan biologis orang. Makanya, dari riwayat ini, virus ini makin cepat menyebar melalui populasi ini.

Fakta lain yang membuat Kinshasa makin menjadi pusat penyebaran HIV, karena pada 1920-an, kota ini dikenal sebagai salah satu titik terbaik untuk menghubungkan berbagai kota di Afrika.
 
 
Tercatat ratusan ribu orang mendatangi kota ini setiap tahun. Makanya virus ini kemudian menyebar sampai kota pada jarak 1500 Km dari Kinshasa dalam jangka 20 tahun kemudian. Dekade selanjutnya saat Kongo mendapatkan kemerdekaan makin menarik untuk menjadi sumber pekerjaan, termasuk bagi penduduk Haiti, negara di kepulauan Karibia benua Amerika.

Karena mencari penghidupan wilayah yang menjadi pandemik HIV itu, kaum muda Haiti yang kembali ke rumah mereka setelah bekerja di area itu pun akhirnya membawa bentuk virus HIV-1 grup M atau disebut subtipe B, ke bagian barat Atlantik. Jarak Kongo ke Haiti diketahui mencapai 9.828 Km.

Selanjutnya, pada 1970-an, virus HIV sudah sampai di Amerika Serikat. Apalagi didukung dengan gaya hidup seks bebas dan perilaku homo di kota seperti New York dan san Francisco.

"Tak ada alasan untuk meyakini subtipe lainnya tak akan menyebar secepat subtipe B, mengingat keadaan ekologi yang sama," kata Faria. Penyebaran HIV belum berakhir dengan pelacakan tersebut. Sebab ada temuan di AS pada 2015, bahwa wabah virus HIV juga menyebar melalui suntik narkoba.

Peneliti Harvard School of Public Health di Boston, Yonatan Grad mengatakan Centers for Disease Control and Prevention telah menganalisis urutan genom HIV dan data tentang lokasi dan waktu infeksi dan menemukan fenomena suntik narkoba tersebut.

"Data ini membantu untuk memahami sejauh mana wabah, dan selanjutnya akan membantu untuk memahami ketika intervensi kesehatan masyarakat telah bekerja," kata Yonatan.

Sejumlah ilmuwan lain mengatakan hal serupa pandemi AIDS pertama kali muncul tahun 1920-an di kota Kinshasa, yang sekarang menjadi Republik Demokratik Kongo. Para ilmuwan yang tergabung dalam sebuah tim internasional mengatakan adanya "gempuran" pertumbuhan penduduk, seks dan kemajuan transportasi berupa rel kereta api memungkinkan virus HIV menyebar.
 
Teori arkeologi penyakit menular digunakan untuk menemukan asal muasal pandemi, lapor tim dalam jurnal Science. Mereka menggunakan beberapa sampel arsip kode genetik HIV untuk melacak sumbernya, dengan bukti yang menunjuk ke era 1920-an di kota Kinshasa. Sejumlah laporan menyebutkan perdagangan seks yang meningkat, pertumbuhan penduduk yang cepat dan penggunaan jarum-jarum yang tidak steril di sejumlah klinik kesehatan memungkinkan penyebaran virus ini.

Sejumlah kereta api yang mengangkut sekitar satu juta orang pada setiap tahunnya, telah membawa virus ke beberapa wilayah sekitarnya. Para ahli mengatakan penelitian tentang pandemic HIV ini adalah sebuah wawasan yang menarik. HIV menjadi perhatian dunia pada tahun 1980-an dan hampir 75 juta orang terjangkit virus itu.

Sejarah AIDS di Indonesia

Selalu mendengung-dengungkan kasus AIDS pertama di Indonesia adalah kasus AIDS yang terdeteksi pada seorang wisatawan Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 1987. Pengakuan ini bermuatan politis, sekaligus mengukuhkan mitos (anggapan yang salah), yaitu: AIDS penyakit bule, AIDS dibawa dari luar negeri, dan AIDS penyakit homoseksual. Mitos ini diperkuat lagi dengan pernyataan pejabat di awal-awal epidemic sehingga menjadi pegangan banyak orang sampai sekarang.

Celakanya, sampai sekarang cara-cara menanggapi dan mengomentari HIV/AIDS nyaris tidak berubah sejak awal epidemi. Bahkan, terkesan mundur karena memberikan komentar dan pernyataan yang tidak akurat karena hanya bertopang pada norma, moral dan agama, seperti penyebutan ‘seks bebas’, selingkuh, dll. yang tidak terkait langsung dengan HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Tahun 1983 dr. Zubairi Djoerban, staf Sub-Bagian Hematologi-Penyakit Dalam FK UI, meneliti kalangan homoseksual dan waria di Jakarta terkait leukemia. Hasil penelitian dr Zubairi ada tiga waria di Jakarta yang menunjukkan gejala mirip AIDS. Tapi, karena ketika itu defenisi AIDS masih kabur maka gejala itu, lemas-lemas seperti yang dikeluhkan ketiga waria itu, disebut sebagai AIDS related complex (ARC).

Tahun 1986 seorang perempuan berusia 25 tahun meninggal dunia di RSCM Jakarta. Tes darahnya memastikan bahwa dia terinfeksi HTLV-III, dan dengan gejala klinis yang menunjukkan AIDS. Kasus ini tidak dilaporkan oleh Depkes.

Pada tahun yang sama Direktur RS Islam Jakarta, dr H Sugiat, melaporkan kasus pasien yang mati di rumah sakit itu (7/1-1986) karena penyakit terkait AIDS melalui surat kepada Menkes melalui Kanwil Depkes DKI Jakarta. Ditemukan virus HTLV III dalam darah pasien melalui tes darah metode ELISA. Contoh darah pasien tsb. dites dengan Western blot di RS Walter Reed, AS, hasilnya negatif. Belakangan kematian pasien itu disebut-sebut sebagai ARC.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes, Prof Dr AA Loedin, kembali menegaskan bahwa saat ini penderita AIDS belum ada di Indonesia, tetapi penderita gejala ringan AIDS yang disebut AIDS Related Complex (ARC), sudah cukup banyak. “Jumlah penderita ARC kalau dihitung mencapai ratusan.” (Suara Karya, 9/4-1986).

Merunut AIDS di Indonesia

WNI yang meninggal di Denpasar (1988) kemungkinan tertular HIV antara tahun 1973 dan 1983 dengan perhitungan rentang waktu mencapai masa AIDS antara 5 dan 15 tahun. Ini jauh sebleum EGH tiba di Bali. Bahkan, tahun 1987 Depkes RI melaporkan 5 kasus HIV dan 2 kasus AIDS. Ini menunjukkan 2 kasus AIDS tertular antara tahun 1972 dan 1982. Maka, kalau ada asumsi atau anggapan bahwa AIDS dibawa orang ‘bule’ dari luar negeri maka fakta ini memupus asumsi tsb.
 
Di tahun 1984 Kepala Divisi Transfusi Darah PMI, Dr. Masri Rustam, mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir AIDS menyerang penerima transfusi darah pencegahan dilakukan dengan melarang kaum homoseksual atau waria menjadi donor darah.

Padahal, tahun 1985 Menkes, ketika itu, Dr Suwardjono Surjaningrat, mengatakan bahwa belum pernah ditemukan orang yang betul-betul terkena penyakit AIDS. Menjawab pertanyaan wartawan, Menkes komentar “Kalau kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit AIDS.”

Ini salah satu pernyataan yang menyuburkan mitos (anggapan yang salah) dan stigmatisasi (pemberian cap buruk) serta diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV, temasuk yang tertular melalui cara-cara yang justru dibenarkan agama, seperti transfusi darah, jarum suntik, dari ibu-ke-bayi yang dikandungnyua dan transplantasi organ tubuh.

Apakah orang yang tidak bertaqwa otomatis tertular HIV? Lalu, apa ukuran taqwa yang bisa mencegah penularan HIV, seperti melalui transfusi darah? Kemudian, apa alat ukur dan siapa yang bernak menakar ketaqwaan seseorang terkait dengan pencegahan HIV?
Begitu pula dengan pernyataan Ketua PMI yang mengesankan HIV/AIDS hanya ada di kalangan waria dan homoseksual. Ini pun menyuburkan mitos yang sampai sekarang sangat sulit dihapuskan dari memori sebagian orang Indonesia.

Tahun 1986 ada usulan dari kalangan dokter di RSCM Jakarta untuk melakukan suvailan tes HIV terhadap kalangan yang dianggap berisiko tinggi tertular HIV, al. pekerja seks dan homoseksual. Usul ini muncul karena di banyak negara kasus HV/AIDS mulai bermunculan, sedangkan di Indonesia sama sekali tidak ada kegiatan mendeteksi HIV/AIDS. Hal ini dikemukakan oleh dr Zubairi Djoerban, Kasub Hematologi, Bag. Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSTM.

Sebuah tim dari Hematologi FKUI/RCTM melakukan pemeriksaan HIV dengan ELISA terhadap 7.464 orang dari kalangan risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klinis AIDS pada kurun waktu April-September 1986.
Hasilnya?

Reaksi positif pada tes pertama 47, tes ulang tinggal 18 yang reaksi positif. Dari 18 ini hanya 8 yang mau melanjutkan pemeriksaan. Hasilnya, 4 terdeteksi imunitas selular dan 4 terdapat antigen HIV. Tahun 1987 dilaporkan ada tiga penduduk Indonesia yang ‘terjangkit’ AIDS. Menanggapi fakta ini, Kabalitbang Depkes RI, waktu itu Prof. Dr. AA Loedin, mengatakan: “Jangan Ikut-ikutan Panik Terhadap AIDS.”

Disebutkan pula, kasus AIDS masih relatif tertanggulangi di Indonesia. Jadi, penyakit ini tidak usah dijadikan persoalan nasional. Ketua IDI Cab. Denpasar, waktu itu, Dr. Agus Bagiada: “Biar saja bangsa Barat kalang kabut, tapi jangan impor keresahan mereka ke sini. Sebab berbeda dengan bangsa Indonesia, umumnya bangsa Barat tidak berpengalaman menanggulangi kasus penyakt menular, sehingga mereka menjadi sangat panik.” (Suara Pembaruan, 21/9-1987).

Pada tahun 1989 dilaporkan ada lima orang yang ’diduga’ mengidap penyakit terkait AIDS secara rutin konsultasi ke Kelompok Studi Khusus AIDS (Pokdisus AIDS) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pada tahun ini juga dilaporkan ada WNI yang meninggal di RS dr. Soetomo, Surabaya. Dikabarkan, ‘teman kencan’ laki-laki ini cemas. Celakanya, kalangan rumah sakit justru panik menghadapi kasus ini.

Kalau saja sejak ditemukan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan langkah-langkah penanggulangan yang konkret tentulah akan lain hasilnya.Tapi, karena yang tejadi hanya sanggahan dan penyangkalan, maka jangan heran kalau sekarang. kasus HIV/AIDS terdeteksi terus-menerus di semua daerah. Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara di Asia, setelah Cina dan India yang tinggi percepatan laju infeksi baru HIV, khususnya di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik yang bergantian.

Peringatan terhadap Indonesia sudah dikumandangkan oleh Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS (Badan PBB untuk AIDS). Dalam pidato pembukaan Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP), Melbourne, 2001, Dr Piot secara khusus menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik berganti-ganti di Indonesia.

Di Indonesia sendiri kasus komulatif HIV/AIDS sampai 30 Juni 2001, seperti dilaporkan Ditjen PPM & PL Depkes RI, tercatat 2.150. Dari jumlah ini tercatat 415 pengguna narkoba yang terdiri atas 309 HIV dan 106 AIDS. Estimasi UNAIDS/WHO kasus HIV/AIDS di Indonesia 52.000, sedangkan Depkes RI memperkirakan 120.000 kasus. Jumlah ini bertambah drastis karena diperkirakan ada 60.000 – 80.000 pengguna narkoba suntikan (Syaiful W. Harahap, AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan, Harian “SUARA PEMBARUAN”, Jakarta, 6 Oktober 2001) Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan tahun 2011, kasus HIV/AIDS tersebar di 368 (73,9%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Secara signifikan kasus HIV/AIDS terus meningkat. 

Kasus HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun terutama dari tahun 2009 ke tahun 2010 terjadi peningkatan yang cukup tajam. Hal ini disebabkan sudah semakin baiknya teknologi informasi sehingga pencatatan dan pelaporan kasus HIV/AIDS yang terjadi di masyarakat sudah semakin baik, serta kerjasama yang baik dari pemerintah dan masyarakat sehingga populasi komunitas yang berisiko dapat dijangkau dan diketahui. Kemudian di tahun 2011 terjadi sedikit penurunan kasus HIV/AIDS hal ini dapat disebabkan penderita yang sudah meninggal dunia dan efek dari diperkenalkan dan dijalankannya program CUP (Condom Use 100 Percent).

Program bersama PBB untuk penanganan AIDS (UNAIDS) mencatat terdapat 630.000 orang terinfeksi HIV di Indonesia, per tahun 2018. Direktur UNAIDS untuk Indonesia, Tina Boonto, menuturkan mayoritas pengidap virus tersebut tersebar di DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Papua. "Kita bisa lihat di peta ini, 35 persen dari 630.000 penderita ini yang di seluruh Indonesia ada di Jakarta, Papua dan East Java," ujarnya saat konferensi pers di Kantor LBH Masyarakat, Jakarta Selatan, Jumat (30/11/2018). 

Rinciannya, sebanyak 18 persen pengidap HIV berada di Jakarta, 11 persen berlokasi di Jawa Timur, dan tujuh persen berada di Papua. Sayangnya, hanya 48 persen dari jumlah tersebut atau sekitar 301.959 orang yang mengetahui bahwa mereka terinfeksi virus HIV. Kemudian, hanya 15 persen atau sekitar 96.298 orang dari total pengidap virus HIV yang berobat dan mengonsumsi obat antiretroviral (ARV). Tina menuturkan, hal itu berkontradiksi dengan jumlah unit pelayanan yang tersebar di seluruh Indonesia untuk penyakit itu. "Berapa service center tapi pencapaiannya masih rendah," ungkap dia. Ia menuturkan, di tahun 2017, Indonesia telah memiliki 5.124 tempat bagi masyarakat untuk melakukan konseling dan mengecek apakah mereka mengidap virus HIV atau tidak. 

Selain itu, terdapat 641 pusat pengobatan ARV, 2.344 pusat pelayanan penyakit menular seksual, dan 233 pusat pelayanan untuk HIV dan tuberkulosis. Baca juga: Seabad Jadi Momok Dunia, Ahli Temukan Akar Penyebaran HIV Tina menjelaskan, akar permasalahannya adalah stigma dan diskriminasi dari masyarakat yang masih berkembang soal penderita HIV/AIDS. "Menurut UNAIDS, layanan sudah ada, tetapi gara-gara banyak stigma dan diskriminasi yang ada di Indonesia, orang takut, saya juga kenal banyak orang yang bilang ke saya mending enggak tahu (dia positif atau tidak)," jelasnya. Kasus HIV/AIDS di Indonesia, masih menjadi perhatian utama. lantaran setiap tahunnya, kasus HIV/AIDS terus meningkat. Salah satunya Provinsi Bali, yang terdata 50% dari kasus yang ditemukan, menyerang usia produktif yakni 15-50 tahun
  
Perdebatan HIV-AIDS di Indonesia

Di tahun 1985 dr. Zubairi mengatakan bila penyakit AIDS sampai menyerang masyarakat akan sulit dicegah. Begitu pula dengan Dr A. Haryanto Reksodiputro, ketika itu Kepala Bagian Penyakit Dalam FK UI, mengingatkan masyarakat perlu memperoleh penjelasan terntang AIDS tapi tidak menimbulkan kepanikan.

Kepada “Kompas” Dr Haryanto mengingatkan bahwa akan ada konsekuensi yang besar jika AIDS sudah ada di Indonesia. Biaya yang mahal akan dikeluarkan untuk skrining darah untuk transfusi. Biaya yang besar juga diperlukan untuk memeriksa antibody HIV pada orang-orang yang diduga tertular HIV.

Sub-Bagian Hematologi Penyakit Dalam FKUI mendeteksi antibody dengan ELISA. Ketika itu harga reagent-nya Rp 10.000. (Kompas, 10/8-1985). Terkait dengan informasi HIV/AIDS melalui media massa yang tidak komprehensif sudah disuarakan oleh Prof. Dr A A Loeddin, ketika itu Kalitbang Depkes RI, yang menilai bahwa media massa di Indonesia belum banyak membantu dalam upaya menyadarkan masyarakat mengenai masalah AIDS. 

Media massa dinilainya lebih banyak membuat sensasi dan hal itu justru telah membuat masyarakat gelisah. (Tajuk Rencana, Suara Pembaruan, 22/6-1987). Kalangan pejabat juga ada yang menuding media massa menyebar ’kabar bohong’ tentang kasus HIV/AIDS di Indonesia. Terkait dengan hal ini Ketua Umum IDI Pusat, dr. Kartono Mohamad, mengatakan: Ribut-ribut tentang AIDS. Pilihan kita dalam hal ini memang tidak dapat lain, kecuali mengumumkan jika memang benar ada kasus AIDS di Indonesia, karena hanya masyarakatlah yang dapat mencegah penyebarannya. Bukan pemerintah dan bukan pula dokter. Ribut-ribut saling bantah justru makin membingungkan. Kalau memang berita pers tidak benar, maka perlu ditunjukkan di mana letak kebohongan berita itu. (Kompas, 9/4-1986).

Pernyataan pakar-pakar tentang HIV/AIDS di Indonesia ternyata hanya bagaikan ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’ karena dibantah oleh pejabat dan pemuka masyarakat yang justru didengar rakyat walaupun yang mereka sampaikan hanya mitos.
Lilatlah pernyataan dr Adhyatma, ketika itu Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2MPLP), Depkes RI, “ …. mengakui sulit mencegah masuknya AIDS ke Indonesia, karena Indonesia adalah negara terbuka. “Apalagi di sana sini banyak praktek pelacuran dan kebiasaan kumpul kebo pun mulai masuk ke Indonesia. Jadi AIDS sulit dicegah masuk. Tapi sebenarnya memberantasnya tidak sulit. Caranya, berantas saja perzinahan dan kemesuman. Dan ini tentu bukan tugas Depkes saja.” (Kompas, 4/9-1985).

Pernyataan-pernyataan yang tidak akurat terus bermunculan dengan muatan norma, moral dan agama. Coba simak beita ini: Boyke Dian Nugraha: Korban AIDS bisa Berubah Mirip Monster. Ada nasihat dari pakar seks, Prof. Dr. Boyke Dian Nugraha, SOG, untuk siswa SMU tentang bahaya HIV Aids. Seseorang yang terkena Aids, dalam 5 tahun wajahnya akan berubah mirip monster. Tidak perduli apakah wania itu cantik dan lelaki ganteng. Semuanya akan berubah menjadi monster. Hal itu dikemukakan, Boyke Dian Nugraha, saat bebicara dalam seminar yang dihadiri pelajar SMU di Surabaya (29/5/2000).

Mengumbar mitos terus terjadi, seperti yang diberitakan Harian “Pos Metro Balikpapan” (30/5-2009) ini: Pada kesempatan itu, dr Boyke juga memaparkan bahaya atau dampak yang ditimbulkan dari selingkuh berupa, kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit kelamin diantaranya AIDS dan perceraian. “AIDS itu ‘kan anunya itu dimasukan sembarangan, jadi kalau enggak mau kena AIDS jangan berselingkuh,” tegasnya yang lagi-lagi disambut tawa kaum ibu. Untuk menginspirasi agar orang tidak berselingkuh, kemarin, ia pun memperdengarkan salah satu lagu dari album Bunga Jantungku.

Kalangan artis pun ikut pula nimbrung menyuburkan mitos. Pada acara Redaktur Hebooh (ANTEVE, 21/4-2000), Nurul Arifin mengatakan selingkuh sebagai salah satu faktor risiko penularan HIV (Newsletter HindarAIDS No. 46, 5 Juni 2000). Pernyataan yang tidak komprehensif tentang HIV/AIDS terus berlanjut. Ini judul berita di Harian “Fajar”, Makassar, 2/12-2005: JK (Wakil Presiden Jusuf Kalla-pen.): Mau Tetap Berdosa, Pakai Kondom. Dalam berita disebutkan JK mengatakan: "Yang harus kita katakan adalah melakukan hubungan seks tidak dengan istri itu adalah dosa. Tetapi, kalau Anda memang tetap ingin berdosa ya, pakailah kondom agar tidak mengorbankan keluarga dan diri sendiri."

Ini masih pernyataan Wapres Jusuf Kalla: “Anak-anak yang ditinggalkan akan memiliki gen yang lebih baik dan dapat menjadi pemain sinetron.” Itulah pernyataan Wapres Jusuf Kalla pada promosi pariwisata tentang turis Timur Tengah datang ke Puncak, Jawa Barat, untuk mencari janda atau melakukan pernikahan singkat (Harian ”Kompas”, 1/7-2006) Maka, tidak mengherankan kalau sampai sekarang mitos tetap menyelimuti informasi HIV/AIDS yang menjalar ke penanggulangan epidemi HIV. Lihat saja pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV di puluhan Perda Penanggulangan AIDS di Indonesia. Tidak satu pun pasal di perda-perda itu yang menawarkan cara pencegahan yang konkret.

Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Maka, penanggulangan dan pencegahannya pun dapat pula dilakukan secara medis. Tampaknya, sebagian dari kita memilih ‘debat kusir’ soal penanggulangan epidemi HIV dengan membenturkan norma, moral dan agama kepada fakta medis. Jika paradigma kita tidak berubah, maka kita tinggal menunggu pengalaman Thailand terjadi di Indonesia.

Dua dekade yang lalu pemerintah Thailand sudah diingatkan oleh pakar epidemiologi agar menanggulangi epidemi HIV dengan serius. Tapi, penerintah Negeri Gajah Putih itu menampik dengan alasan masyarakatnya berbudaya dan beragama. Satu dekade kemudian dilaporkan kasus HIV/AIDS mendekati angka 1.000.0000. Devisa dari pariwisata hanya bisa menyumbang 2/3 kepada biaya penanggulangan HIV/AIDS di sana.

Untunglah bhiku di Thailand membuka pintu vihara lebar-lebar bagi penderita AIDS yang tidak tertampung di rumah sakit. Jerih payah tanpa pamrih bhiku ini menghasilkan Hadiah Ramon Magsaysay. Sebuah penghargaan internasional. Indonesia juga ‘beruntung’ karena ada donor asing yang mendanai penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, jika kelak donor hengkang: maka APBN dan APBD akan ‘digerogoti’ untuk biaya penanggulangan epidemi HIV?
 
Apakah pintu rumah-rumah ibadah di negeri ini juga terbuka lebar bagi Odha?
Sejarah akan mencatat tanggapan dan sikap sebagian orang di negeri ini terhadap epidemi HIV dan perlakuan terhadap Odha.

Peringatan Dunia

Biar pun sudah ada kasus yang erat kaitannya dengan AIDS, tapi pemerintah, dalam hal ini Depkes RI, baru mau mengakui AIDS sudah ada di Indonesia setelah kematian EGH, 44 tahun, seorang turis asal Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali, tanggal 5 April 1987 karena penyakit terkait AIDS. Laporan Imigrasi menyebutkan EGH tiba di Denpasar tanggal 26 Maret 1987.

Kasus ini membuat Indonesia masuk dalam daftar Badan Kesehatan Sedunia (WHO) sebagai negara ke-13 di benua Asia yang melaporkan ada kasus AIDS. Indonesia kemudian menetapkan HIV/AIDS resmi sebagai penyakit menular yang dikuatkan dengan Instruksi Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Inst/II tanggal 11 Februari 1988.

Ketika Indonesia ‘geger’ karena kematian ‘bule’ di Denpasar itu, di rumah sakit yang sama justru seorang WNI, pria asli Indonesia, 35 tahun, meninggal dunia juga karena penyakit terkait AIDS di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 23 Juni 1988. Tes darah pria ini dengan ELISA di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan hasil positif. Sekretaris Panitia Penanggulangan AIDS Depkes, dr Suriadi Gunawan, MPH, membenarkan hal itu. Tes dengan ELISA di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan hasil positif. (Kompas, 22/7-1988).

Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit paling mematikan dalam sejarah. Penyakit adalah bagian dari alam. Namun, kita harus melakukan yang terbaik untuk mencegah penyebaran penyakit ini, dan untuk mendidik masyarakat tentang pencegahan penyakit yang sudah ada di sekitar kita. Tidak lupa untuk senantiasa membudayakan hidup sehat agar senantiasa terhindar dari penyakit.

Semoga artikel ini dapat sedikit banyak dapat menambah wawasan kita tentnag sejarah HIV-AIDS ada salah kata atau apapun dalam penerbitan artikel ini penulis mohon maaf, saran dan kritik membangun yang penulis tunggu, terimakasih


(dari berbagai sumber)





SPN

0 Response to "Sejarah HIV-AIDS di Indonesia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel