MASJID SEBAGAI PUSAT PENDIDIKAN ISLAM

PENDAHULUAN

Pusat-pusat pendidikan Islam masih terus menerus mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan dunia pendidikan Islam. Pusat-pusat pendidikan Islam adalah merupakan hasil pemikiran setempat yang dicetuskan oleh kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat Islam dan perkembangan yang digerakan oleh jiwa Islam dan berpedoman kepada ajaran-ajarannya dan tujuan-tujuannya. Dalam dunia pendidikan banyak sekali kita temukan konsep-konsep pendidikan, dimana masing-masing tokohnya mengusung bendera pendidikan. Kita sebut saja, Kurikulum Berbasis Kompetensi, CBSA, PPSI, Banking System dan masih banyak lagi lainnya.
Secara keseluruhan, pusat-pusat pendidikan Islam itu bukanlah yang datang dari luar atau terambil dari kebudayaan-kebudayaan lama, akan tetapi ia dalam pertumbuhan dan perkembangannya mempunyai hubungan erat dengan Islam secara umum, dan di dalamnya kelihatan tujuan-tujuan dan sikap-sikap kehidupan tersebut.
Pusat-pusat pendidikan Islam yang bermacam-macam itu telah tumbuh dalam jangka waktu yang cukup jauh, di bawah pengaruh situasi-situasi yang tertentu dan untuk melahirkan tujuan-tujuan yang tertentu pula yang diinginkan oleh kebutuhan-kebutuhan kehidupan Islam yang terus tumbuh dan berkembang. Seiring dengan perkembangan itu pula, penulis akan mencoba mengulas lebih dalam tentang Masjid. Yaitu tempat yang menjadi pusat keberlangsungan pendidikkan Islam, dengan harapan para intelektual Islam dapat membuka kembali bagaimana khazanah klasik pendidikan Islam dan dapat menerapkan serta mengembangkan kembali khazanah tersebut.
Keunggulan masjid ini merupakan paduan dari pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan kemampuan untuk menyesuaikan pendidikan dengan kondisi aktual di setiap daerah. Sehingga pembelajaran menjadi aktual dan mengarah pada pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat setempat. Dengan demikian keunggulan masjid merupakan ciri khas daerah yang dihasilkan dari potensi alam dan potensi manusia yang ada di suatu daerah. Keunggulan masjid inilah yang menjadi bahan untuk terus dikembangkan setiap daerah sehingga menjadi kumpulan potensi yang telah dikembangkan dan menjadi barometer pengembangan daerah setempat.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Masjid
Secara harfiah masjid diartikan sebagai tempat duduk atau setiap tempat yang dipergunakan untuk beribadah. Masjid juga berarti “tempat shalat berjamaah” atau tempat shalat untuk umum (orang banyak). Masjid memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, karena itu masjid atau surau merupakan sarana yang pokok dan mutlak keperluannya bagi perkembangan masyarakat Islam.

B. Sejarah Masjid Sebagai Pusat Pendidikan Islam
Semenjak terbentuknya komunitas-komunitas muslim yang tersebar di berbagai daerah-daerah pantai dan di pusat-pusat perdagangan di Indonesia, masjid-masjid dan surau-surau telah didirikan bersama dengan terbentuknya komunitas-komunitas tersebut, sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Setelah tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam, maka setiap pusat pemerintahan atau kesultanan didirikan masjid besar atau Masjid Agung, yang diurus oleh Raja atau Sultan.
Masjid besar dijadikan sebagai pusat kegiatan dakwah dan penyebaran Islam secara lebih intensif dan menjadi salah satu perangkat pemerintahan yang harus ada pada setiap kerajaan atau kesultanan pada masa lampau. Dalam perkembangannya masjid dan surau atau langgar merupakan hal yang mutlak perlu bagi kelompok-kelompok masyarakat Islam, yang telah berkembang luas.
Era Madinah merupakan proses awal berdirinya kelembagaan pendidikan masjid, terutama setelah Rasulullah mendirikan Masjid Quba dan beberapa masjid lainnya. Di Masjid, seluruh kegiatan umat di fokuskan, termasuk pendidikan. Majlis yang dilakukan Rasulullah bersama sahabat di masjid dilakukan dengan sistem halaqah. Namun, dalam perkembangannya kemudian, di kalangan umat Islam tumbuh semangat untuk menuntut ilmu dan memotivasi mereka mengantarkan anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan di masjid sebagai lembaga pendidikan menengah setelah kuttab.
Ada satu hal yang membedakan pendidikan Kuttab dan Masjid, yaitu pelaksanaan pendidikan di Masjid lebih fleksibel. Siswa diberikan kebebasan untuk mempelajari bidang ilmu yang dikehendaki dan memilih guru yang disenanginya. Mereka bebas untuk hadir atau meninggalkan majlis pendidikan. Sementara batas usia, sama halnya dengan pendidikan Kuttab, di lembaga pendidikan Masjid juga tidak mengenal batas usia dan berapa tahun pendidikan itu harus diikuti.
Untuk mengidentifikasi masjid sebagai lembaga pendidikan, kita harus teliti dan dituntut untuk memperhatikan kondisi sosio-politik Islam pada periode Klasik. Karena kedudukannya yang sentral dalam masyarakat Islam, perkembangan masjid selalu berkaitan dengan perubahan setiap saat dalam masyarakat.
Lembaga pendidikan masjid tersebar diseluruh propinsi di wilayah Islam, dari India di belahan Timur sampai ke Spanyol di belahan Barat. Tiap-tiap desa bisa jadi memiliki lebih dari satu masjid. Dengan demikian, begitu maraknya pendidikan Islam pada masa Klasik, khususnya masa keemasan pendidikan Islam. Namun, masjid-masjid yang menjadi pusat perhatian dan kebanggaan adalah Masjid dan Jami’ yang ada di kota-kota besar, seperti Baghdad, Damaskus, dan Kairo. Berikut ini dijelaskan tiga masjid besar didunia Islam yang menjadi kebanggaan dan termasyhur dalam pendidikan Islam:

a. Al-Azhar di Kairo
Masjid Al-Azhar didirikan oleh Panglima Jauhar al-Sakilli, terletak di Kota Kairo, pada masa Muizzi Dinillah pada 359 H/ 970 M. Selesai pembangunannya pada tahun 761 H, di masa pemerintahan Malik al-Nasir Qalawun.
Di samping sebagai tempat ibadah, khususnya shalat Jum’at, al-Azhar merupakan pusat kegiatan keilmuan setaraf universitas. Kegiatan ilmiah di al-Azhar bermula dari para fuqoha terkenal dan pejabat-pejabat pemerintahan Dinasti Fatimiyah berkumpul di al-Azhar untuk mendengarkan ceramah umum yang disampaikan oleh Abu Hanifah Nu’man bin Muhammad al-Qirawani, yang bergelar Qadhi al-Qudhat (Hakim Agung). Pada pertemuan ilmiah ini, dia menguraikan prinsip-prinsip Fikih Syi’ah.
Menyusul pertemuan pertama, diselenggarakan kuliah umum yang diberikan oleh Ibn Killis, Wazir (Perdana Menteri) Khalifah al-Aziz Billah. Melihat sikap antusias ulama dalam mengikuti serial kegiatan ilmiah di al-Azhar, Ibn Killis mengusulkan kepada khalifah untuk mengorganisir kelompok studi yang dilaksanakan pada hari Jum’at. Kegiatan keilmuan ini dianggap sebagai awal lahirnya sistem pendidikan Tinggi di al-Azhar. Setelah itu, berdatanganlah ulama dari berbagai daerah untuk belajar di al-Azhar. Secara resmi al-Azhar dijadikan dan dikembangkan sebagai perguruan tinggi oleh Khalifah al-Aziz Billah.
Di bawah pengelolaan Killis, kegiatan keilmuan di al-Azhar tidak hanya mencakup ilmu-ilmu keagamaan saja, tetapi juga ilmu-ilmu, seperti filsafat, ilmu ukur, falak, musik, kedokteran, kimia, ilmu pasti, dan sejarah. Sedangkan ilmu-ilmu keagamaan meliputi tafsir, qira’at, hadits, fikih, ilmu kalam, nahwu, sharaf, al-Bayan, dan adab.

b. Masjid al-Manshur di Baghdad
Masjid al-Manshur dibangun di Baghdad antara 145 H/ 762 M. Dan 149 H/ 766 M, oleh Khalifah al-Manshur (754-755) dan diperbaiki oleh Khalifah Harun al-Rasyid (786-809), kemudian diperluas oleh Khalifah al-Mu’tadid (892-902) pada tahun 280 H/ 893 M.
Pentingnya masjid al-Manshur sebagai pusat pendidikan dibuktikan oleh banyaknya Halaqah. Imam Syafi’I (w.204 H/ 819 M), ketika berkunjung ke Baghdad, menyaksikan adanya empat puluh sampai lima puluh halaqah permanen di masjid ini. Adapun ilmu-ilmu yang dipelajari di sini adalah, hadits, fikih, sya’ir-sya’ir dan ilmu kalam.

c. Masjid al-Umayyah di Damaskus
Masjid Umayyah di Damaskus tergolong suatu keajaiban dunia. Untuk membangun masjid ini, Khlifah Walid bin Abdul al-Malik telah mengeluarkan biaya hasil dari 7 tahun pajak di negaranya, dan pekerjaan pembuatan masjid ini memakan delapan tahun lamanya. Dikatakan bahwa sekiranya ada seseorang yang tinggal seratus tahun di masjid tersebut, setiap hari ia akan menyaksikan keajaiban-keajaiban yang belum dia lihat sebelumnya. Ibnu Jabir ketika berkunjung ke masjid ini menyaksikan adanya halaqah-halaqah, di samping kegiatan-kegiatan diskusi dan penyalinan buku-buku. Khatib al-Baghdadi pada tahun 456 H telah memberikan pelajaran di masjid ini, di mana setiap orang-orang setiap pagi berkumpul di sekelilingnya untuk mendengarkan pelajaran hadits yang dia berikan.
Dalam sebuah literatur berbahasa Inggris di situ disebutkan bahwa:
“In these regular daily sessions for men and weekly session for women the Prophet used to instruct them in various aspects of religion and taught them their duties and responsibilities as member of the Islamic society. In these teaching-learning sessions and discussions that followed, the disciples and followers of the prophet were free to put questions and raise issues regarding any and every thing concerning their lives. After his death his practice was continued by his companions”.

Di pulau Jawa masjid yang pertama yang didirikan setelah berdirinya kerajaan Islam Demak, adalah masjid Sikayu sekitar tahun 1477 M yang terletak sebelah Barat Semarang sekarang. Masjid tersebut merupakan Masjid sementara mendahului pembangunan Masjid Agung di pusat Kraton di Demak dibangun oleh para wali yang bergelar Sunan. Ditempat-tempat yang sentral dalam suatu daerah didirikan Masjid di bawah pimpinan seorang Badal (pengganti wali) yang bergelar Kiai Ageng.
Pertumbuhan dan perkembangan masjid atau surau atau langgar, pada zaman kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam, didukung oleh dua kekuatan secara serempak, yaitu (1) kekuatan yang berasal dari dinamika umat Islam yang sedang tumbuh dan berkembang, dan (2) kekuatan yang bersifat memberikan dorongan dan kesempatan yang seluas-luasnya dari pihak pemerintah, dan bahkan merupakan bagian dari tugas pemerintah pada saat itu.
Mulai abad ke-19, bersamaan dengan pembentukan Kabupaten-kabupaten dalam berbagai wilayah kekuasaan pemerintah kolonial, pemerintah Belanda mulai campur tangan terhadap penyelenggaraan urusan-urusan yang berhubungan dengan kehidupan keagamaan umat Islam. Bupati adalah kepala agama dalam daerahnya dan penghulu yang sudah ada sebelumnya, sekarang menjadi bawahan Bupati, dan Bupatilah yang mengangkat penghulu tersebut.
Dengan demikian, masjid-masjid Agung ataupun masjid Jami’, yang pada mulanya didirikan oleh pemerintah kerajaan-kerajaan pada masa dahulu, atau yang diurus oleh para penghulu atau Qadli pada masa pemerintah kolonial, menjadi tanggung jawab pemerintah Republik Indonesia. Bahkan kemudian didirikan masjid-masjid yang baru dipelopori oleh pemerintah dengan dukungan masyarakat baik di pusat pemerintahan Negara, maupun di tingkat pemerintahan daerah yang belum memiliki masjid dan sebagian diurus oleh pemerintah, misalnya masjid Istiqlal di Jakarta.
Sementara itu, pertumbuhan dan perkembangan surau atau langgar dan masjid, atas usaha pribadi (perorangan), dan swadaya masyarakat, baik murni maupun bersubsidi, berlangsung terus. Keadaan masjid dan surau atau langgar (sekarang juga digunakan istilah musholla – tempat shalat), dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Surau dan masjid tumbuh dan berkembang atas swadaya masyarakat, kelompok ini, tampaknya ada tingkatannya, menurut kegunaannya yaitu:
a. Surau atau langgar atau musholla kecil, yang hanya digunakan sebagai tempat ibadah dan pengajian anak-anak oleh keluarga pendirinya dan keluarga-keluarga sekitar secara terbatas, Biasanya diurus oleh perseorangan.
b. Surau atau langgar atau musholla waqaf. Yang penggunaannya oleh lingkungan keluarga-keluarga yang lebih luas, dan diurus serta menjadi tanggung jawab bersama masyarakat sekitar.
c. Surau atau musholla yang telah berkembang fungsinya menjadi masjid, dan digunakan untuk menyelenggarakan shalat Jum’at oleh masyarakat sekitar.
d. Masjid yang didirikan secara swadaya dan mungkin mendapatkan bantuan dari pemerintah maupun umat Islam dan aderah lainnya. Biasanya masjid ini diurus oleh suatu badan/ yayasan, dan merupakan milik umat Islam secara umum.
2. Masjid Jami’ yang didirikan dan diurus penyelenggaraan oleh pemerintah. Hal ini tampak sebagai meneruskan tradisi yang sudah berkembang sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam. Kelompok ini terdiri dari 3 tingkatan, yaitu:
a. Masjid Jami’ tingkat Kenaiban, yang diurus oleh pejabat agama yang disebut Naib, yaitu wakil dari penghulu untuk tingkata kecamatan.
b. Masjid Jami’ tingkat kepenghuluan, yang diurus oleh pejabat agama yang disebut penghulu atau Qadli, yang merupakan masjid Besar atau masjid Agung, tingkat Kabupaten.
c. Masjid Agung tingkat Nasional yang berada di pusat pemerintahan, yang penyelenggaraannya diurus oleh pemerintah Pusat. Yaitu Masjid Iatiqlal di Jakarta.

C. Masjid Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Masjid merupakan lembaga pendidikan yang pertama dibentuk dalam lingkungan masyarakat muslim. Pada mulanya pendidikan di masjid dalam arti sederhana (sesuai kesederhanaan kehidupan masa itu) dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan Formal, dan sekaligus lembaga pendidikan sosial.
Masjid dapat dianggap sebagai lembaga ilmu pengetahuan yang tertua dalam Islam, pembangunannya dimulai semenjak zaman Nabi dan ia tersebar keseluruh negeri Arab bersamaan dengan bertebarnya Islam diberbagai pelosok negeri tersebut, dalam masjid inilah mulai mengajarkan al-Quran dan dasar-dasar agama Islam pada masa Rasulullah, disamping tugasnya yang utama sebagai tempat untuk menunaikan shalat dan beribadah.
Masjid dan Jami’ berfungsi sebagai sekolah menengah dan perguruan tinggi dalam waktu yang sama. Sebenarnya, masjid pada pertama kalinya merupakan tempat untuk pendidikan dasar, akan tetapi orang-orang Islam berpendapat lebih baik memisahkan pendidikan anak-anak pada tempat yang tertentu kemudiannya, demi menjaga kehormatan masjid dari keributan anak-anak dan karena mereka belum mampu menjaga kebersihan.
Al-Abdi dalam bukunya “Almadlehal ” menyatakan bahwa masjid merupakan tempat terbaik untuk kegiatan pendidikan dengan menjadikan lembaga pendidikan dalam masjid akan terlihat hidupnya sunnah-sunnah Islam, menghilangkan bid’ah-bid’ah, mengembangkan hukum-hukum Tuhan, serta menghilangnya stratifikasi ras dan status ekonomi dalam pendidikan. Maka dengan demikian masjid sudah merupakan lembaga ke dua setelah keluarga, yang jenjang pendidikannya terdiri dari sekolah menengah dan sekolah tinggi dalam waktu yang sama.
Oleh sebab itu implikasi masjid sebagai lembaga pendidikan Islam adalah:
1. Mendidik anak untuk tetap beribadah kepada Allah SWT.
2. Menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan, dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai insan pribadi, sosial dan warga negara.
3. Memberi rasa ketentraman, kekuatan dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabaran, keberanian, kesadaran, perenungan, optimisme dan pengadaan penelitian.

Di antara masjid-masjid dan jami’ yang terkenal sebagai pusat kegiatan belajar mengajar adalah:
1. Jami’ Umar bin Ash. Ia digunakan sebagai tempat belajar mulai tahun 36 H. Mula-mula di sini diajarkan pelajaran agama dan budi pekerti, kemudian pendidikan di situ menjadi luas secara berangsur-angsur dengan ditambahkan beberapa mata pelajaran. Pada waktu Imam Syafi’I datang ke masjid ini untuk menjadi guru pada tahun 182 H. Ia melihat di situ sudah ada delapan buah halaqoh (lingkaran) yang penuh dengan para pelajar.
2. Jami’ Ahmad bin Thulun. Masjid ini sempurna didirikan pada tahun 256 H dan pada tahun ini pula para ulama dan fuqaha mulai mengajar, kemudian pendidikan di situ terus berkembang, sehingga melengkapi pelajaran fiqh, hadits dan ilmu kedokteran.
3. Masjid Al-Azhar. Masjid al-Azhar dianggap sebagai lembaga ilmu pengetahuan Islam yang termashur, dan kemasyhurannya ini masih tetap sampai pada masa kita sekarang. Pada waktu sekarang ini universiras al-Azhar bukan lagi merupakan lembaga pendidikan tinggi agama, akan tetapi di sana telah terdapat berbagai fakultas untuk pendidikan umum.

Pengajian al-Quran, di surau atau langgar dan masjid, biasanya dilaksanakan pada siang (sehabis sholat dzuhur) dan/ sore hari (sehabis sholat Ashar) bagi anak-anak perempuan, sedangkan untuk anak laki-laki pada petang hari (sehabis sholat maghrib) dan/ malam hari (sehabis sholat Isya’). Biasanya anak laki-laki tidur bersama di surau atau langgar, dan pada pagi harinya setelah sholat Subuh mereka belajar/ mengaji lagi. Pengaturan waktu-waktu belajar sehabis waktu sholat tersebut, bertujuan agar anak-anak dapa sekaligus melaksanakan shalat bersama secara berjama’ah. Hal tersebut di maksudkan adalah sebagai latihan (pendidikan beribadah) bagi anak-anak, sehingga kelak sudah mereka baligh (dewasa) akan terbiasa melaksanakan shalat.
Cara belajar mengajar di surau atau langgar dan masjid, dapat di tentukan sebagai berikut: Anak-anak belajar secara duduk dalam keadaan bersila tanpa bangku dan meja. Demikian pula halnya dengan guru. Mereka belajar dengan guru seorang demi seorang (sistem modul) dan belum berkelas-kelas seperti pada sekolah-sekolah sekarang. Materi pelajarannya sangat bervariasi, tergantung pada kemampuan anak-anak. Namun, pada dasarnya, setiap anak memulai pelajarannya dari huruf Hijahiyah. Mereka mempelajari huruf Hijahiyah dengan membaca (menghafal dan mengenal hurufnya) satu persatu, baru kemudian di rangkaikan.
Materi lainnya yang di ajarkan adalah ibadah, yang dimulai dengan berwudlu dan shalat. Pelajaran ini diberikan langsung melalui praktek dan contoh. Waktu-waktu mulai belajar dengan waktu-waktu shalat, tidak lain karena shalat berjama’ah merupakan cara pengajaran shalat secara langsung dan percontohan tersebut.

D. Fungsi Masjid
Secara garis besar fungsi surau dan masjid tersebut dapat dibedakan sebagai tempat ibadah, dan sebagai tempat pendidikan serta pembudayaan, dan tempat penyelenggaraan urusan umat. Namun demikian, bentuk dan sifat fungsi masjid dan surau tersebut sangat beragam dan bervariasi serta mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Dalam sejarahnya, fungsi masjid sebagai pusat atau tempat kegiatan dalam penyelenggaraan urusan umat, mulai tampak setelah timbulnya kerajaan-kerajaan Islam dan dibangunnya masjid-masjid Jami’ oleh penguasa di berbagai wilayah dengan tujuan tersebut. Pada zaman Sultan Agung Mataram umpamanya, fungsi tersebut lebih tampak secara teratur dengan diangkatnya pejabat-pejabat khusus yang bertugas untuk menyelenggarakan kepentingan umat.
Dalam hal ini fungsi masjid akan lebih efektif bila di dalamnya disediakan fasilitas-fasilitas terjadinya proses belajar mengajar. Fasilitas yang dimaksudkan adalah:
a. Perpustakaan, yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin keilmuan.
b. Ruang Diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum atau sesudah shalat berjama’ah. Program inilah yang di kenal dengan istilah I’tikaf ilmiah.
c. Ruang Kuliah, baik digunakan untuk training remaja masjid, atau juga untuk “madrasah diniyah”, yang oleh Omar Amin Hoesin diistilahkan dengan “sekolah masjid”. Kurikulum yang disampaikan khusus mengenai materi-materi keagamaan untuk membantu pendidikan formal, yang proporsi keagamaannya lebih minim dibandingkan dengan proporsi materi umum.

Setelah zaman kemerdekaan tampaknya terdapat kecenderungan penciutan fungsi pendidikan dan pembudayaan serta penyelenggaraan urusan umat pada masjid-masjid. Hal ini disebabkan karena semakin berkembangnya pendidikan dan masalah-masalah yang berhubungan dengan kepentingan umat.
Berbagai jenis madrsah dengan berbagai tingkatan dan kegiatannya berdiri di luar masjid. Penyelenggaraan urusan umat semakin luas dan banyak, tidak mungkin lagi tertampung di masjid. Maka dibangunlah balai-balai nikah dan kantor urusan agama serta balai/ kantor pengadilan agama di luar masjid-masjid jami.
Pendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah.
Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan.
Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.


KESIMPULAN

Semenjak berdirirnya di zaman Nabi Muhammad SAW masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kehidupan kaum muslimin. Ia menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan penerangan agama dan informasi-informasi lainnya dan tempat menyelenggarakan pendidikan, baik bagi anak-anak maupun orang-orang dewasa. Kemudian pada masa Khalifah Bani Umayyah berkembang fungsinya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama yang baersifat keagamaan.
Pada masa Bani Abbas dan masa perkembangan kebudayaan Islam, masjid-masjid yang didirikan oleh para pengusaha pada umumnya diperlengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan. Tempat pendidikan anak-anak, tempat-tempat untuk pengajian dari ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok (Halaqah), tempat untuk berdiskusi dan munazarah dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan juga dilengkapi dengan ruang perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang cukup banyak.
Namun demikian, dalam sejarah perkembangannya, meskipun nantinya di dunia Islam telah tumbuh lembaga pendidikan yang lebih sistematis, seperti madrasah, akan tetapi eksistensi lembaga pendidikan Masjid masih tetap dipertahankan keberlangsungannya, di samping fungsinya sebagai tempat berkomunikasi sesama kaum muslimin.
Dengan demikian, nampak bahwa masjid pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok.
DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah, Drs., Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia (Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, Cet. Ke-4.
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Proyek Pembinaan Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN, Jakarta: Departemen Agama RI, 1986.
Suwito, Prof., Dr., MA., dan Fauzan, MA., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005, Cet. Ke-1.
Zuhairini, Dra., dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, Cet. Ke-5.
Asrahah, Dra., Hanun M.Ag., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999, Cet. Ke-1.
Alam, Zafar, Education in Early Islamic Period, New Delhi: Markazi Maktaba Islami Publishers, 1997, Cet. Ke-2.
Nizar, Dr., H., Samsul M.,A., Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam (Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia), Jakarta: Quantum Teaching, 2005, Cet. Ke-1.

0 Response to "MASJID SEBAGAI PUSAT PENDIDIKAN ISLAM"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel