12. TESIS PEMEKARAN KABUPATEN MINAHASA SULAWESI UTARA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik (local democracy) di pemerintah daerah. Sistem pemerintahan seperti ini memberikan keleluasaan kepada daerah dalam wujud “Otonomi Daerah” yang luas dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa
dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah (Koswara, 1998). Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat di era reformasi muncul fenomena keinginan masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk suatu daerah otonom baru, baik daerah propinsi maupun kabupaten dan kota. Keinginan seperti itu didasari oleh berbagai dinamika yang terjadi di daerah baik dinamika politik, ekonomi sosial maupun budaya. Dengan pembentukan daerah otonom baru, daerah otonom tersebut diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang lebih besar dalam mengurus dirinya sendiri, terutama berkaitan dengan pengelolaan sumber-sumber pendapatan asli daerah, sumber daya alam dan pengelolaan bantuan pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat setempat yang lebih baik.
Desentralisasi merupakan suatu refleksi proses reformasi politik, sosial budaya dan ekonomi. Perubahan politik dan sosial budaya di Indonesia dengan kecenderungan pergeseran pelayanan publik dari wewenang pemerintah pusat beralih menjadi wewenang tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal (Warsito Utomo,1997). Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Dinamika perkembangan wilayah menjadi otonom seperti itu disikapi pemerintah pusat dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah sejak Januari 2001. Dalam hubungannya dengan pembentukan daerah otonom, Pasal 18 UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi dalam daerah kabupaten dan daerah kota
Untuk mendukung implementasi kebijakan otonomi daerah, Pemerintah Pusat telah mempersiapkan berbagai kebijakan, antara lain Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa:
“dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pada pasal 4 ayat (2) dinyatakan pula bahwa daerah-daerah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarkis satu sama lain. Selanjutnya pada pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat dijelaskan bahwa keinginan masyarakat daerah untuk membentuk daerah otonom baru memang dimungkinkan oleh paraturan perundangan yang berlaku.
Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan tema lama yang tampaknya selalu menemukan aktualitas dan relevansinya. Dikatakan tema lama karena Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan landasan yuridis yang jelas tentang eksistensi otonomi daerah. Seiring dengan ditetapkannya UUD 1945, sejak itu pengaturan tentang pemerintahan daerah dalam perundang-undangan sebagai penjabaran pasal 18 mulai ramai diperdebatkan. Hal ini tampak dari kehadiran Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur tentang otonomi daerah.
Kajian terhadap isi undang-undang yang pernah dipergunakan untuk mengatur pemerintahan daerah tetap saja menarik perhatian berbagai kalangan serta membuka peluang terjadinya perdebatan. Sampai saat ini sudah enam kali diadakan perubahan dan penyempurnaan, terakhir dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang sekarang sedang diimplementasikan. Materi perdebatan dalam Undang-undang Otonomi Daerah berada pada segi yang esensial, yaitu mengenai seberapa besar Pemerintah Pusat menyerahkan kewenangannya kepada daerah otonom (Yudoyono, 2001).
Dengan demikian maka pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia menurut Suwandi (2002) memiliki ciri-ciri:
(1) daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal, (2) desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan, (3) penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada angka 2 tersebut di atas utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Sejalan dengan banyaknya keinginan untuk pembentukan daerah otonom baru, baik yang berupa pemekaran maupun peningkatan status, khususnya di daerah kabupaten dan daerah kota sesuai dengan mekanisme pembentukan daerah otonom maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, penghapusan dan Penggabungan Daerah, yang isinya antara lain menyebutkan persyaratan, kriteria, prosedur, pembiayaan pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah.
Berdasarkan data yang ada, hingga saat ini total daerah kabupaten dan kota di Indonesia berjumlah 410, terdiri dari 324 daerah kabupaten dan 86 daerah kota (Kompas, 28 Januari 2003).
Seiring dengan perkembangan dinamika di berbagai daerah dan peraturan pendukung yang ada, pemerintah daerah Kabupaten Minahasa mengajukan pembentukan daerah Kota Tomohon yang wilayahnya terdiri dari tiga kecamatan. Beberapa alasan yang mendasari Pemerintah Kabupaten Minahasa untuk membentuk daerah Kota Tomohon adalah, pertama, peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah yang berlaku saat ini (UU No. 22 Tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000) memberikan kemungkinan untuk dilakukannya pemekaran satu daerah otonom menjadi beberapa daerah otonom baru. Kedua, pemekaran Kabupaten Minahasa menjadi beberapa daerah otonom baru yakni Kabupaten Induk (Minahasa), Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon yang telah ditetapkan, serta Kabupaten Minahasa Utara yang dalam proses pembahasan, dipandang akan membawa berbagai keuntungan bagi masyarakat, seperti fasilitas sosial, ekonomi dan finansial untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat pada masa depan. Ketiga, tuntutan masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang lebih baik, dengan semakin sedikitnya birokrasi yang harus dilalui dalam memperoleh jasa pelayanan publik. Keempat, keinginan masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengelola sendiri sumber daya dan potensi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Permasalahan besar yang menghadang pembentukan Tomohon sebagai daerah otonom adalah masalah kemandirian keuangan daerah, pertumbuhan ekonomi dan terbatasnya infrastruktur perkotaan. Kuatnya aspirasi masyarakat Tomohon untuk mengangkat Tomohon menjadi suatu daerah yang otonom telah menjadi alasan utama bagi pemerintah untuk mewujudkan daerah Kota Tomohon. Hal ini tercermin dari upaya Pemerintah Kabupaten Minahasa dan Panitia Pembentukan Daerah Kota Tomohon (P2DKT), yang terus memperjuangkan dalam agenda pembahasan Pemerintah dan DPR RI agar Tomohon dapat disahkan menjadi daerah otonom.
Pembentukan Daerah Kota Tomohon akhirnya ditetapkan pada 27 Januari 2003 bersama-sama dengan 25 kabupaten dan kota yang diusulkan DPR RI. Kesepakatan itu diambil pada pertemuan antara DPR RI dan Pemerintah dalam hal ini Mendagri Hari Sabarno dengan 25 bupati/walikota termasuk Bupati Minahasa, di Jakarta. (Manado Post, 28 Januari 2003).
Masalah kelayakan Tomohon menjadi suatu daerah yang mempunyai otonomi penyelenggaraan pemerintahan hingga kini masih menjadi pertanyaan besar mengingat potensi yang dimiliki Tomohon yang sangat minim untuk berdiri sendiri sebagai suatu daerah otonom. Berdasarkan data yang ada, kontribusi Tomohon pada PAD Kabupaten Minahasa sebesar Rp. 2.012.206.400,- Dengan penerimaan PAD Tomohon sekarang ini yang hanya mencapai angka tersebut, merupakan suatu tantangan bagi Tomohon sebagai daerah yang baru terbentuk untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan daerah otonom.
Berdasarkan kondisi tersebut, dapat diperkirakan bahwa kemampuan ekonomi dan finansial daerah masih sangat minim. Upaya pendanaan yang diharapkan untuk membantu pembiayaan pembangunan Kota Tomohon yaitu berasal dari bantuan pemerintah pusat dalam berbagai bentuknya. Hal inilah yang kemudian menjadi ujung tombak penyelenggaraan pemerintahan di daerah Kota Tomohon untuk menutupi berbagai kekurangan dalam penyediaan pelayanan kepada masyarakat. Konsekuensinya adalah makin menipisnya biaya untuk melakukan investasi dan pembangunan prasarana lainnya.
Melihat potensi alam yang ada di Tomohon, pemerintah harus bisa mengembangkan potensi-potensi yang ada terutama dalam memanfaatkan potensi panas bumi Lahendong sebagai sumber pembangkit tenaga listrik. Produk pertanian terutama holtikultura dan kembang sudah lama menjadi produk unggulan di daerah ini yang ditunjang oleh keberadaan Pasar Induk Tomohon telah memberikan dampak bagi pertumbuhan perekonomian dan pendapatan daerah. Sementara itu, sektor rumah panggung yang menjadi produk unggulan sektor industri diharapkan akan mampu memperluas jaringan pemasaran sehingga perkembangan sektor ini akan memberikan kontribusi positif bagi upaya pengembangan perekonomian daerah Kota Tomohon.
Sekarang ini menarik untuk dikaji mengapa dan bagaimana sehingga Tomohon dapat disahkan sehingga menjadi suatu daerah kota yang otonom. Dari segi persyaratan kemampuan ekonomi dan finansial seperti diuraikan sebelumnya nampaknya Tomohon tidak layak untuk menjadi suatu daerah otonom, tetapi mengapa Tomohon “lulus ujian” dan kemudian “diundangkan” sebagai suatu daerah kota yang memiliki status otonom?. Penjelasannya mungkin harus dicari melalui sudut pandang politik yang menghendaki agar Tomohon dapat ditetapkan menjadi daerah otonom. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dukungan berbagai stakeholders.. Bahwa dengan terbentuknya Kota Tomohon maka akan membuka peluang bagi stakeholders tertentu untuk duduk dalam jabatan-jabatan politis tertentu. Hal yang menimbulkan masalah jikalau pemberian status otonomi kepada Tomohon, ternyata tidak diikuti oleh semakin baiknya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Dikhawatirkan justru pelayanan akan semakin mahal karena Pemerintah Kota Tomohon dituntut untuk dapat menghimpun PAD sebanyak-banyaknya.
B. Rumusan Masalah
Pembentukan daerah Kota Tomohon dalam perspektif kebijakan publik dapat dipandang sebagai proses interaksi berbagai kelompok kepentingan dalam proses politik, melibatkan sejumlah aktor dan dipengaruhi oleh kepentingan yang melekat pada kelompok ataupun aktor tersebut. Proses lahirnya kebijakan publik dalam hal ini kebijakan pembentukan Kota Tomohon merupakan suatu rangkaian kegiatan atau langkah tindakan para aktor (stakeholders).
Jones (1994 : 44 - 45) menjelaskan tentang proses kebijakan sebagai sebagai sebuah rangkaian tindakan yang secara definitif berkaitan dengan tujuan. Selanjutnya dijelaskan bahwa proses kebijakan difokuskan pada proses-proses kelompok. Pendekatan seperti ini selain mempelajari peranan kelompok kepentingan juga menyidik kelompok dalam lembaga-lembaga politik. Dalam studi proses kelompok juga harus mengemukakan bahwa keputusan sebenarnya dibuat oleh kelompok-kelompok kecil yang dikenal dengan elite. Dalam pandangan ini proses kelompok dipandang sebagai sebuah proses elite.
Berdasarkan pemahaman di atas maka desakan stakeholders dan tindakan pemerintah membentuk daerah Kota Tomohon dapat dilihat sebagai suatu proses kelompok dan pengambilan keputusan dalam proses tersebut dapat dipandang sebagai kehendak dari elit daerah. Oleh karena itu maka pembentukan daerah Kota Tomohon merupakan proses interaksi berbagai kelompok dan elit beserta dengan kepentingan mereka masing-masing.
Pembentukan suatu kota harus mempertimbangkan berbagai kriteria pembentukan. Mengenai kriteria kelayakan pembentukan kota, terdapat beberapa unsur yang harus diperhatikan antara lain kemampuan ekonomi daerah, potensi daerah, mata pencaharian penduduk, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah serta kriteria lain-lain yang terdiri dari: faktor-faktor kriminalitas, ketersediaan gedung bagi pemerintah daerah, jarak dan waktu tempuh dari kecamatan-kecamatan ke pusat pemerintahan.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka pertanyaan penelitian yang muncul adalah:
- Bagaimana proses formulasi kebijakan pembentukan daerah Kota Tomohon yang melibatkan kepentingan stakeholders?
- Bagaimana kelayakan pembentukan daerah Kota Tomohon?
- Bagaimana potensi PAD Kota Tomohon
- Bagaimana prospek Kabupaten Minahasa pasca-pemekaran?
C. Tujuan Penelitian
Seiring dengan pertanyaan penelitian di atas maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi dan menganalisis tuntutan-tuntutan kebijakan dari berbagai stakeholders terhadap Pembentukan Daerah Kota Tomohon.
2. Untuk mengeksplorasi dan menganalisis proses formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah Kota Tomohon.
3. Untuk menganalisis kelayakan (feasibility) Pembentukan Daerah Kota Tomohon.
4. Untuk mengkaji prospek Kabupaten Minahasa pasca-pemekaran dan mengestimasi potensi PAD daerah Kota Tomohon.
D. Manfaat Penelitian
Informasi yang didapatkan dari penelitian ini diharapkan akan bermanfaat baik secara akademis maupun praktis.
1. Akademis
· Melalui penelitian ini, diharapkan akan didapat pemahaman secara teoritis tentang proses formulasi kebijakan publik khususnya dalam proses pembentukan daerah otonom pasca diterapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.
· Untuk memahami aspek-aspek yang berkaitan dengan kelayakan pembentukan suatu daerah otonom.
· Untuk memahami implikasi kebijakan pembentukan daerah otonom terhadap upaya pendanaan pemerintah daerah melalui kajian yang bersifat estimatif.
2. 2. Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi kebijakan bagi Pemerintah Kota Tomohon untuk pengembangan Kota Tomohon saat ini dan untuk masa yang akan datang.
0 Response to "12. TESIS PEMEKARAN KABUPATEN MINAHASA SULAWESI UTARA"
Post a Comment