Legenda Danau Rawa Pening



Alkisah Dijaman dulu kala dikaki gunung Telamoyo (Unggaran sekarang) tersebutlah desa yang sangat subur makmur namanya Desa Dadapan namun berbanding terbalik dengan anugrah dari Tuhan yang didapat didesanya, penduduk Desa. Dadapan mempunyai sifat yang tamak angkuh dan sombong jauh dari norma sosial dan agama, klo siang mencari nafkah dengan bertani atau berdagang tapi klo malam di isi dengan mabuk-mabukan, berzina dan berfoya-foya.

Pada Suatu ketika pak lurah ingin mengumpulkan para penduduk desa di pukulah kentongan sebagai tanda untuk mengumpulkan warga di bale desa, warga desa yang sedang mencari nafkah langsung berkumpul ke bale desa begitu ada bunyi ketongan dari arah bale desa.

“Wahai penduduk Desa Dadapan, tak terasa  beberapa hari lagi kita akan memasuki  purnama ke enam pada tahun ini sudah selayaknya kita menyambutnya dengan mengadakan acara merti desa atau sedekah bumi sesuai dengan adat istiadat leluhur kita” kata Pak Lurah dihadapan warga desa, “benar Pak Lurah” kata penduduk desa Kompak bersahutan. 

Pak lurah pun sadar bahwa penduduk desanya sangat kikir klo urusan sumbang-menyumbang buat kepentingan desanya “oleh karena itu besok lusa para warga saya perintahkah mencari ubo rampenya bagi pemuda mencari makanan dan hewan buruan di hutan sedangkan yang wanita meracik dan menyiapkan bumbu masakan” lanjut Pak Lurah berkata. Para warga pun serempak menjawab “siap pak lurah”.

Hari yang ditentukan pun tiba para pemuda desa dadapan berame-rame pun pergi ke hutan untuk berburu hewan,  hari itu cuaca tidak terlalu mendukung sebantar panas sebentar hujan sehingga tidak ada hewan buruan yang ditemui seharian “kita lanjut berburu esok saja, saat ini cuaca tidak mendukung dan sudah sore mari kita pulang” teriak pak marto selaku sesepuh desa yang menjadi pimpinan rombongan berburu kepada kelompoknya.

Keesokan paginya para warga desa melanjutkan perburuannya namun apa dikata cuaca tetap kurang mendukung sehingga hewan pun susah di temui “mari teman-teman kita kelilingi wiliyah gunung ungaran ini, kita harus mencari sampai dapat binatang buruang karena sudah tidak ada waktu lagi” kata pak marto, entah kenapa hari itu tidak ada hewan buruan satupun baik kijang, banteng atau ayam hutan, “pak marto, kawan-kawan pengen istirahat sebentar banyak diantara mereka yang letih karena sudah muter-muter dan naik turun gunung ungaran ini “ kata pak samijo mewakili temen-temanya.

“Baiklah kita istirahat dulu untuk memulihkan tenaga” jawab Pak Marto. Para warga desapun akhirnya berhenti dan beristirahat di hutan. Pak samijo pun memilih duduk di akar pohon yang telah ditumbuhi lumut golok yang di bawa di pinggangnya di tancapkan di akar pohon sambil minum dia merokok untuk melepas penat.

“Istirahatnya sudah cukup, mari kita berburu lagi” tegas Pak Marto, penduduk desa pun berdiri untuk melanjutkan perburuan tiba-tiba ada dah mengalir deras dari akar pohon ketika Pak Samijo mau mencabut goloknya, “Pak Marto tunggu dulu..lihat batang akar yang aku tancapkan golok keluar darahnya.“ Pak Marto pun berbalik arah dan meneliti batang akar tersebut “teman-teman bersihkan batang akar ini saya curiga ini adalah badan ular” para warga pun membersihkan batang akar tersebut “ Lihat pak marto memang benar ini bukan akar tapi tubuh ular panjang dan sebesar pohon kelapa yang sedang bertapa” sahut warga.

“ Wah beruntung kita, tak perlu capek-capek lagi berburu” ujar Pak Marto “tunggu Pak Marto apa tidak kena karma nanti, jika kita membunuh ular yang sedang bertapa” ujar warga lain mencegahnya,  “wah peduli apa kita yang penting dagingnya bisa kita makan dalam acara merti desa nanti” ujar pak marto, para warga pun akhirnya memotong tubuh ular tersebut berame-rame dan membawanya kekampung.

Selang keesokan harinya ada anak kecil compang-camping dengan bagian tubuh yang terluka dari arah gunung ungaran menuju Desa Dadapan “Pak bagi dagingnya saya kelaparan” ujar anak kecil itu memelas, “siapa kamu, sana pergi” hardik setiap warga yang ditemui, tak berapa lama kabar tentang anak kecil yang tidak di kenal dan tanpa nama yang meminta makan pun terdengar semua warga kampung, mereka menjulukinya dengan sebutan “baru klinting” dari kata barong yang artinya manusia yang awut-awutan atau yang penampilannya berantakan dan klinting yang berasal dari bunyi lonceng kecil yang biasa dijadikan kalung wajib anak kecil didesa pada masa itu .

Setiap rumah yang dilewati Baru Klinting selalu langsung menutup pintu rapat-rapat sampai akhirnya sampai di ujung desa di rumah Mbok Rondo Dadapan yang hidup sendiri sebatang kara di rumah reyot yang sedang menumbuk jagung “Mbok Rondo saya minta makannya sudah seharian ini saya muter-muter belum makan”kata baru klinting memelas, “masuklah nak kerumah, simbok sudah mendengar kabarmu dari orang-orang kampung” jawab simbok dengan senyum tulusnya “namun simbok hanya punya bubur jagung”. Bersambung

Penulis : SPN

0 Response to "Legenda Danau Rawa Pening"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel