Dasar dan Sumber Akidah Akhlak. oleh: Hanawati



BAB II
PEMBAHASAN
A.          Dasar dan Sumber Akidah Akhlak
   Dasar aqidah akhlak adalah ajaran Islam itu sendiri yang merupakan sumber-sumber hukum dalam Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits. Apa saja yang disampaikan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah SAW dalam sunnahnya wajib diimani (diyakini dan diamalkan).
Akal pikiran tidaklah menjadi sumber akidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba kalau diperlukan membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, itu pun harus didasari oleh kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemampuan semua makhluk Allah. Akal tidak akan mampu menjangkau masalah-masalah ghaib, bahkan tidak akan mampu menjangkau sesuatu yang tidak terikat dengan ruang dan waktu.

Ilmu aqidah adalah ilmu yang membahas keyakinan manusia kepada Allah SWT. Ilmu aqidah disebut juga ilmu tauhid. Kata tauhid berasal dari wahhada,yuwahhidu,tauiddan, artinya mengesakan,atau mengi’tikadkan bahwa Allah Maha Esa.
Al-Qur’an adalah perkataan Allah  yang hakiki, diturunkan kepada Rasulullah dengan proses wahyu, membacanya termasuk ibadah, disampaikan kepada kita dengan jalan mutawaatir (jumlah orang yang banyak dan tidak mungkin bersepakat untuk berbohong), dan terjaga dari penyimpangan, perubahan, penambahan dan pengurangan.
        Penjelasan dari sumber-sumber akidah akhlak yaitu sebagai berikut:
1.         Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.
2.         As-Sunnah
Aa-Sunnah sering disebut juga dengan hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya.
Dalam konsep akhlak, segala sesuatau itu dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela, semata-mata karena syara’ (Al-Qur’an dan Sunnah) menilainya demikian. Kenapa sikap sabar, syukur, pemaaf, pemurah dan jujur misalnya dinilai baik? Tidak lain karena syara’ minilai semua sifat-sifat itu baik. Begitu juga sebaiknya, kenapa pemarah, tidak bersyukur, dendam, kikir dan dusta misalnya dinilai buruk? Tidak lain karena syara’ menilainya demikian. Pertanyaan kemudian muncul, apakah islam menafikan peran hati nurani, akal dan pandangan masyarkat dalam menentukan baik atau buruk? Atau dengan kata lain, dapatkan ketiga hal tersebut dijadikan ukuran baik dan buruk? Hati nurani atau fitrah dalam bahasa Al-Qur’an memang dapat menjadi ukuran baik dan buruk karena manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki fitrah bertauhid, mengakui ke-Esaan-Nya (Q.S. Ar-Rum [30]: 30). Karena fitrah itulah manusia cinta kepada kesucian dan selalu cenederung kepada kebenaran. Hati nuraninya selalu mendambakan dan merindukan kebenaran, inginmengikuti ajaran-ajaran tuhan , karena kenbenaran itu tidak akan didapat kecuali dengan Allah sebagai sumber kebenaran mutlak.
            Namun fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik karena pengaruh dari luar, misalnya pengaruh pendidikan dan lingkungan. Fitrah hanyalah merupakan potensi dasar yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Betapa banyak manusia yang fitrahnya tertutup sehingga hati nuraninya tidak dapat lagi melihat kebenaran. Oleh sebab itu, ukuran baik dan buruk tidak dapat diserahkan sepenuhnya hanya kepada hati narani atau fitrah manusia semata. Harus dikembalikan kepada penilaian syara’. Semua keputusan syara’ tidak akan bertentangan dengan hati nurani manusia, karena kedua-duanya berasal dari sumber yang sama yaitu Allah SWT. Demikian juga halnya dengan akal pikiran. Ia hanyalah salah satu kekuatan yang dimiliki manusia untuk mencari kebaikan atau keburukan.  Dan keputusannya bermula dari pengalaman empiris kemudian diolah menurut kemampuan pengetahuannya. Oleh karena itu, keputusan yang diberikan akal hanya bersifat spekulatif dan subyektif. Bagaimana dengan pandangan masyarakat? Pandangan masyarakat juga bisa dijadikan salah satu ukuran baik dan buruk, tetapi sangat relatif, tergantung sejauh mana ksesucian hati nurani masyarakat yang hati nuraninya sudah tertutup dan akal pikiran mereka sudah dikotori oleh sikap dan perilaku yang tidak terpuji tentu tidak bisa dijadiakan ukuran. Hanya kebiasaan masyarakat yang baiklah yang bisa dijadikan ukuran.
         Dari uraian diatas jelaslah bagi kita bahwa ukuran yang pasti (tidak spekulatif), obyektif, komprehensif dan universal untuk menentukan baik dan buruk hanyalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan yang lainnya. Islam mengajarkan agar umatnya melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk. Ukuran baik dan buruk tersebut dikatakan dalam Al Qur’an. Karena Al Qur’an merupakan firman Allah, maka kebenarannya harus diyakini oleh setiap muslim.







BAB III
PENUTUP
A.          Kesimpulan
Dasar aqidah akhlak adalah ajaran Islam itu sendiri yang merupakan sumber-sumber hukum dalam Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits. Al Qur’an dan Al Hadits adalah pedoman hidup dalam Islam yang menjelaskan kriteria atau ukuran baik buruknya suatu perbuatan manusia.
B.           Saran
         Jangan takut untuk menyampaikan sesuatu yang benar dan dalam menyampailan ilmu, tetapi hal itu harus sesuai dengan ilmunya tidak boleh di lebihkan ataupun ditambahkan.













DAFTAR PUSTAKA
Yunahar llyas Lc. Kuliah Akidah Islam, Yogyakarta: LPPI. 1992-2004
Rosihan Anwar. Akidah Akhlak .Bandung: Pustaka Setia. 2008
Nur Khalisah Latuconsinah. Aqidah Akhlak Kontemporer, Makassar: Alauddin University Press. 2014




0 Response to "Dasar dan Sumber Akidah Akhlak. oleh: Hanawati"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel